Syahrani's Weblog Rani-Rina's Weblog
Thursday, August 31, 2006

Indotainment

Mari kita ikuti alur fase hidup seorang artis.

Lahir, langsung mempunyai nama kuno alias terkesan ndeso karena memang berasal dari kampung. Harapan orang tuanya cukup sederhana, agar anaknya menjadi anak yg baik dan taat pada orang tua.

Umur 5 tahun, si anak ikut pementasan di TK-nya. Dari sini ketahuan bahwa dia mempunyai bakat bergaya, modelling dan sekaligus akting.

Umur 6 tahun, tak disangka dia menjuarai lomba karaoke 17 agustus-an di kampung. Ternyata, dia punya bakat nyanyi.

Umur 7 tahun, ada tamu datang ke rumah mencari ayahnya. Ayahnya bilang ke si anak tadi "bilang ayah ga ada ya, cari sendiri alasannya nak". Si anak mendatangi tamu tadi sambil berkata dengan mimik serius "maaf pak, bapak gak ada. tadi ada panggilan mendadak dari kantor dan ternyata bapak disuruh ke Jakarta dan langsung ikut konferensi di Prancis". Sang tamu mengangguk tanda paham. Tak dinyala, si anak punya bakat akting sekaligus menulis skrip.

Umur 8 tahun, karena bakat akting, nyanyi, model, dan bergaya sudah ada, si anak minta agar ia dikirim ke Jakarta untuk ikut rekaman dan kasting iklan atau sinetron. Sekolah pun pindah.

Umur 9 tahun, punya album sendiri, jadi bintang iklan, masuk koran dan TV sebagai penyanyi. Namanya, artis cilik. Dan tak lupa, namanya ganti supaya lebih menjual dan hoki.

Umur 10-13 tahun, ia semakin sibuk dengan profesinya. Sekolah jadi tertinggal bahkan ditinggalkan.

Umur 13-17, ia masuk fase pendewasaan atau baligh. Suaranya pecah jadi tak bisa nyanyi. Ia memilih vakum sejenak sambil menyelesaikan sekolahnya.

Umur 18, ia siap kembali jadi artis yang sudah gede. Figur artis cilik sudah benar2x ditinggalkan. Baju agak terbuka, rok agak keatas dan make up agak tebal. Wajar dong, biar menjual. Ia mulai mengundang wartawan dengan dalih konferensi pers.

Umur 19-21, ternyata tak laku di dunia tarik suara. Supaya ongkos salon tetap lancar, ia banting setir ke dunia akting. Ia main film layar lebar.

Umur 22, ia memilih menikah dan infotainment menemukan bahwa ia telah hamil sebelum nikah. Who cares? yang penting dia tenar dan menjaga ketenarannya.

Umur 23-30, membesarkan anak dan punya anak 3.

Umur 31, mencari alasan untuk cerai dari suami. "Suami gue nempeleng gue terus mana gue ga pernah dinafkahi. Gue banting tulang sendiri gedein anak2x". Si suami cari alasan lain, "istri gue itu jadi WIL tokoh partai. Gak pernah di rumah deh. Itu cuma alasan dia biar bisa cerai dari saya. Tanpa diminta pun gue udah talak 3 ama dia".

Umur 32, sepakat cerai dan prosesi cerai udah dilaksanakan. Biar sama2x punya tabungan, "eh gimana kalo kita jual aje cerite kite biar kite dapet duitnya? tar kita bagi dua deeh". Cerita dijual, dijadikan sinetron, bahkan dibikin bukunya.

Umur 33-40, udah tak laku jadi pemain layar lebar. Banting setir ke sinetron dan pemain iklan.

Umur 40, banyak pendatang muda baru. Sehingga dia tak begitu laku. Tapi ia masih tetap "meyuplai" wartawan infotainment sekaligus editor-editornya sehingga ia masih tenar. Sehingga tawaran iklan pun masih ada.

Umur 41 keatas, dia udah benar2x tak laku. And this is where the story goes....

It is now 1999, tren keartisan sudah berubah. Kalau dulu, apabila sudah tak laku, maka dia pensiun atau bisnis atau jadi agen artis baru bahkan mengajar. Alternatif lain, back to basic, main teater. Lebih cerdas lagi, ketika kran demokrasi sudah dibuka, ia menjadi anggota DPR RI.

In 2006 and afterwards, artis-artis mempunyai "hobi" baru. Menjadi anggota DPR saja tak cukup. Setelah mapan di sebuah partai, dia mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau sebagai langkah awalnya, wakil kepala daerah lah....

And in the next decades, it wouldn't be a dream anymore. We could have an Indonesian actress/actor as our president...

Welcome to the Republic of Indotainment. We DO make dreams come true....

------

But not in any way my dreams. Now, we know the future or perhaps current relations between political parties, actor/actress, social/religious organizations, the mushroom of infotainments and all the mafias behind them. Wake up, people!



Tuesday, August 15, 2006

Pakde Karwo

Bagi saya, sebenarnya yang menarik dari Surabaya bukan pisang ponti, bukan pula berdirinya mal-mal dan infrastruktur swasta yang lebih cepat berdiri dibanding dengan infrastruktur publik. Namun yang menarik adalah kata "Pakde".

Tiba2x saja beberapa bulan terakhir ini publik di Surabaya (khususnya) dan Jatim (umumnya) dibombardir oleh produk2x berbau Pakde. Contoh, kacang garing Pakde, campursari Pakde, beasiswa "Pakde peduli pendidikan", stiker2x Pakde "tertib lalu lintas" di angkutan umum dan lain sebagainya. Bahkan saya sudah menemui beberapa warung kopi yang sudah menggunakan spanduk atau merek "Warung Kopi Pakde".

Siapa, apa dan mengapa Pakde? Saya mencoba mengulas dari hasil beberapa obrolan dan pengamatan. Sekedar peringatan, kalau anda tidak menyukai politik atau marketing, jangan lanjutkan bacaaan ini.

Kalau tidak salah, awal mula kata Pakde adalah di kalangan wartawan. Ungkapan ini dipakai untuk menyebut nama Sekdaprov Jatim Dr. Soekarwo, SH, Mhum. Setelah dari wartawan, ungkapan ini berkembang luas dan Pak Karwo (panggilan akrab Soekarwo), membaca fenomena ini. Akhirnya dengan sigap, dibuatlah sebuah karikatur yang katanya "mirip" Soekarwo dengan nama Pakde (tentu ada tujuannya). Ujung-ujungnya pula dibuat sebuah "brand" (merek) bernama Pakde dengan karikatur tadi. Produknya sebagian saya sebutkan diatas.

Kalau kita merujuk pada situasi politik di Jatim, setidaknya ada 2 kandidat kuat calon Gubernur Jatim 2008-2013. Pertama adalah wagub Jatim Soenarjo, kedua adalah Seokarwo. Gubernur sekarang Imam Utomo (cak imut), tidak bisa maju lagi karena sudah 2 kali masa jabatan dan dialah gubernur Jatim pertama kali dengan 2 masa jabatan.

Analisa yang ada, Seonarjo lebih diuntungkan karena lebih dikenal di jajaran akar rumput. Selain posisinya sekarang sebagai wagub, dulu ia pernah menjabat sebagai Sekdaprov. Soekarwo, dirugikan karena tidak dikenal. Sehingga tugas utama Soekarwo adalah "dikenal masyarakat Jatim". Memang popularitas bukan esensi utama dalam meraih kemenangan, tetapi ingat ini adalah pilihan langsung rakyat sehingga "perkenalan" harus tetap dilakukan. Seokarwo yang saya kenal memang pintar, komunikatif dan birokrat sejati.

Kedua orang ini melakukan trik "kampanye" yang berbeda. Dari sumber yang terpercaya, 2 orang ini menggunakan tim yang dulu bekerja sama dibalik sukses Bambang DH - Arif Afandi meraih kursi walikota-wawali Surabaya. Kini satu tim tersebut pecah kongsi dalam Pilgub 2008 ini. Sebut saja tim A dan tim B. Menariknya, kedua tim menggunakan 2 strategi yang berbeda dengan disiplin ilmu yang berbeda.

Soenarjo, yang memakai tim A, memahami betul bahwa ini adalah ranah politik sehingga memilih tim A. Tim A dikomandoi oleh seorang dosen yang political analyst dari Surabaya sekaligus direktur sebuah LSM. Namun, hingga saat ini, "kampanye" belum terlihat kasat mata. Mungkin hanya sebatas "kunjungan" ke daerah.

Seokarwo, yang lebih "dirugikan", jauh lebih mementingkan "bagaimana caranya biar saya dikenal". Dia tahu betul bahwa ia butuh "jual diri". Caranya cukup inovatif dengan memilih tim B. Tim B adalah tim yang dihuni oleh pemasar atau tim marketing. Pak Karwo mengerti bahwa zaman telah berubah. Political marketing dibutuhkan, bukan hanya politiknya saja.

Dimana2x muncul lah "merek" Pakde. Muncul di TV, koran, dan produk2x menggunakan brand name "Pakde". Hasilnya, kini orang2x kampung mengerti apa itu Pakde. Di otak mereka sudah tertancap nama Pakde. Artinya sudah ada brand awareness tentang Pakde di Jatim.

Di sebuah radio terkemuka di Surabaya, iklan "kacang garing Pakde" sempat ditolak karena dianggap politis. Namun, tim B berpendapat "dimana politsnya?". Pakde adalah sebuah produk kacang garing dan tidak ada tulisan maupun klaim dari kacang garing pakde bahwa "Pakde adalah Soekarwo". Pada akhirnya, radio itu menerima iklan tersbut dan iklannya telah on air. Cukup cerdas memang.

Saat ini, orang2x mengetahui "Pakde is product". Nanti, ketika gaung Pilgub Jatim 2008 telah dibuka, tim B tentu akan terang-terangan membuat image dan positioning baru yaitu "Pakde is Soekarwo". Product Awareness telah ada, tinggal liking dan preference dari pemilih yang harus diperhitungkan oleh tim B.

Menarik untuk ditunggu. Apakah tim A yang menggunakan teori politik ataukah tim B yang menggunakan political marketing yang akan memenangkan Pilgub Jatim?

Yang pasti, andaikata Pakde Karwo kalah, dia telah mengantongi satu 'perusahaan' baru, brand name "Pakde" dengan awareness ttg produk yang cukup tinggi di masyarakat. Salut untuk Pakde Karwo.

Sayang, tak ada satupun calon yang mempunyai blog atau mungkin website... "Ga internasional banget sih" :p



Tuesday, August 08, 2006

Tanyalah pada Lumpur yang Meninggi

Coba baca tulisan Tony Thamrien disini. Ya, saya juga mengalaminya.

Ketika pulang ke Surabaya, saya beberapa kali pulang kampung ke Lumajang. Acapkali pula saya mengalami hal serupa dengan Tony, delay yang cukup lama di daerah porong. Apalagi ketika jalur tol ditutup persis dengan apa yang terjadi lagi saat ini. Kita harus lewat jalur "bawah", kota porong. Ini artinya semua sepeda motor, kendaraan baik kecil maupun setingkat bus dan truk jadi satu lewat jalan yang sempit. Hasilnya, macet, bisa berjam-jam dan bikin orang frustasi.

Ketika jalan tol Surabaya-Gempol telah dibuka, sedikit ada kemajuan. Jalan agak lancar walaupun harus melambat di daerah porong. Pertama kali melewati porong di jalan tol, saya terkesima. Luar biasa memang lumpurnya. Rumah2x sudah tenggelam, bahkan pabrik2x di sekitanya yang notabene bergedung agak tinggi tinggal atapnya. Dan itu semua lumpur, bukan banjir air. Ditambah lagi dengan adanya gas2x semburan mirip wedhus gembel. Saya kalau melihatnya seperti kawah di Ciwidey yang keluar gasnya.

Bahkan jalan tol ketika sampai di Porong adalah jalan tol baru. Artinya jalan tol yang lama sudah tenggelam dan ini adalah jalan diatas jalan. Jadi jalannya lebih tinggi.

Sekali2x kalau sempat, anda harus kesana melihat sendiri. Bagaimana sih banjir lumpur itu. Kalau kita tidak melihat, mungkin kita akan mengira "yah cuma lumpur". Padahal ini adalah sebuah bencana yang cukup besar.

Herannya, mengapa pemerintah tidak berani mengatakan ini adalah bencana bahkan bencana nasional? Bahkan bencana ini lebih parah dari Gempa Jogja. Secara "shock factor", memang gempa Jogja lebih dahsyat. Tetapi secara dampak dan akibat dari bencana, Porong jauh lebih menderita. Ada beberapa alasan mengapa ini adalah sebuah bencana lebih parah dari Jogja sekalipun:

  • Banjir lumpur telah merenggut sandang, pangan, dan papan beberapa kampung di porong. Kalau gempa Jogja, sawah2x masih bisa ditanami. Tetapi di Porong? Sawah telah punah dan kita tidak tahu kapan, dan apakah masih bisa sawah itu ditanami.
  • Ketika bencana lumpur terjadi, masyarakat dari beberapa kampung telah diungsikan ke pengungsian. Bagaimana susahnya hidup di pengungsian, susahnya bagi pasangan suami-istri, susahnya bagi anak kecil untuk bermain, semua penderitaan menjadi satu.
  • Rencananya, mereka akan di relokasi ke tempat baru dengan harga sewa Rp 2,5 juta/tahun. Ini bukan masalah harga. Tetapi para pengungsi itu harus membanguan struktur sosial yang baru, mengganti struktur sosial mereka yang telah mereka bangun bertahun-tahun lamanya di desanya yang telah mapan. Baik itu pendidikan, kepala desa, orang yang dituakan di desa, kyai2x dan tokoh2x desa. Ingat, bahwa pengungsi ini berasal dari beberapa desa yang harus melebur jadi satu.
  • Banjir lumpur telah melumpuhkan perekonomian Jatim. Distribusi barang dari pelabuhan atau dari surabaya ke daerah (atau sebaliknya) menjadi sangat lambat dan terhambat. Belum lagi pemasukan tol (Jasa Marga) yang bukan hanya berkurang, tapi sangat berkurang ketika jalur Porong ditutup.
  • Bagi Lapindo, selain harus mengatasi banjir lumpur ini, mereka juga harus menyediakan makan setiap hari bagi pengungsi dan memberi mereka nafkah tiap bulan. Entah berapa uang yang telah mereka habiskan.

Saya cukup salut dengan kesabaran mereka. Entah dikasih makan apa mereka hingga bisa sabar. Yang jelas mungkin mereka tidak dikasih makan kambing yang bisa menaikkan tensi darah mereka.

Mereka memang cukup sabar. Penanggulangan yang cukup klasik dan lamban, belum lagi permainan bisnis dan politik karena ini adalah perusahaan dari grup menkokesra, Bakrie Group. Pada akhirnya pengungsi yang merupakan rakyat kecil (kawula alit) lah yang harus menderita.

Saya tak bisa membayangkan andai bencana Lapindo ini yang menjaga adalah polisi. Mungkin warga masih berani dan akan merusak semuanya. Maka dari itu yang menjaga kawasan ini adalah tentara dari Brawijaya. Sehingga warga takut untuk marah2x.

Entah sampai kapan lumpur ini akan berakhir. Kalau kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang, itu tidak pas. Karena rumput di tempat bencana telah tertimbun dengan lumpur dan tak mau lagi bergoyang.

Yang pas, tanyalah pada lumpur yang meninggi...



Friday, August 04, 2006

Selamat Jalan, Pak Ris!

Pemikirannya selalu bersebrangan. Ceplas-ceplos dan tanpa beban, layaknya orang Madura.

Gaya mengajarnya "hasil didikan Amerika banget"; memakai kemeja, jeans ala pakaian kasual, santai. Memang yang penting dalam mengajar adalah transfer ilmu, bukan apa yang kita pakai.

Terakhir bertemu beliau awal tahun ini di rumah saya di Surabaya. Saat itu bersama dosen2x UGM lainnya menikmati makanan bikinan ibu saya, yang antara lain sop buntut dan krengsengan kambing. Beliau waktu itu memang tidak makan banyak. Mungkin menjaga kesehatan.

Sebelum tgl 28 Juli lalu beliau berniat akan datang ke Surabaya untuk menghadiri pernikahan kakak saya. Namun karena alasan "sakit kepala dan demam", ia mengurungkan niatnya. Mungkin "sakit kepala dan demam" hanya untuk memperhalus.

Kini, "sang rajawali" telah pergi. Ciri khas yang selalu ada di dalam tulisan2xnya di harian Jawapos yang selalu saya ingat adalah "Kaki Merapi, Eagle flies alone". "Flies alone" mungkin karena dirinya selalu berseberangan dengan kawan2xnya. "Sang Rajawali" memang selalu meletakkan diri di wilayah oponen, berseberangan. Ia tak mau dibuai kekuasaan.

Selamat Jalan, Pak Ris! Semoga sang Maha Pencipta meletakkanmu di Sisi yang terbaik.

Now Eagle really flies alone to the owner of eagles. Al Fatihah...

foto: Detikcom



Tuesday, August 01, 2006

Just Arrived

Lama tak bersua karena baru pulang kampung menghadiri pernikahan kakak kandung. Sebelum ke tanah air, tgl 25-29 Juni saya pergi ke Sydney untuk sebuah pekerjaan. Ternyata perbedaan antara Perth dan Sydney itu jauh ya. Terutama masalah ramainya kota. Perth terasa lengang bahkan sesekali terasa seperti kota mati. Sydney adalah kota terbesar di Australia, terasa ramai dan kadang bikin pusing. Lebih ga enaknya lagi di Sydney serba mahal karena kota besar. Sehingga kalo mahasiswa macam kita2x ini, lebih baik jalan kaki aja kesana kemari. Walhasil, capek banget :) Untung aja musim dingin jadi agak berkurang capeknya. Tapi lapernya bertambah. hehe..

Ada beberapa catatan ketika berada di Indonesia. Mungkin lain kali akan ditulis disini.

Saya baru sampai Perth hari Senin jam 7.20 Pagi. Baru keluar dari bandara jam 9 pagi. Artinya saya harus berhadapan dengan imigrasi serta bea cukai lebih dari satu jam. Tak usah heran lah. Disini memang begitu, ketat. Tugasnya memang "iseng" kepada orang. Digeledah lah, ditanyain ini itu dan lain sebagainya. lama-lama udah terbiasa juga dengan itu. Tapi masih beruntung dibandingkan dengan imigrasi di Sydney. Konon katanya sangat ketat. Sampai-sampai dibuat acara TV berjudul Border Security.

Seharusnya lagi saya udah sampai di Perth Senin jam 3 pagi. Namun karena delay 4 jam, saya harus nunggu malamnya di Ngurah Rai. Tidur di sofa. Maklumlah Garuda. Secara positioning, Garuda tergolong kelas istimewa dibandingkan dengan maskapai penerbangan lain dalam negeri. Namun diluar negeri, Garuda tergolong maskapai yang miskin dan sering tak tepat waktu bahkan delay seenaknya. Jadi kalau saya milih Garuda bukan karena tergolong kelas istimewa, tetapi karena memang murah :) Sekedar tips, kalau naik Garuda selain harus menyiapkan barang2x bawaan anda, siapkan juga mental delay biar kalo di delay siap mental :)

This isn't the worst though. Saya pernah Denpasar-Perth yang seharusnya ditempuh 3,5 jam menjadi hampir 1 hari. Jadi waktu itu karena pesawat delay dari Surabaya dan pesawat ke Perth sudah berangkat, kita diterbangkan ke Brisbane. Dari Brisbane terbang pake Qantas (dibayar Garuda) ke Perth. That was the worst! :)

Senin siang langsung kuliah karena udah mulai kuliahnya. Insya Allah ini semester terakhir for my bachelor. Doain ya :)

I'll write more soon.



Author

Rani

"Syahrani's Weblog" is where I restore everything (writings, stories, religious, social, politics, current affairs, marketing, thoughts, sports, internet, essays, pictures or what so ever) that amazed me during time.

A 23 year-old, worker, family-man and a Post-Graduate MBA student. Living in Melbourne (Australia). Email: syahrani AT gmail.com .

Ads


Archives

August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
February 2007
April 2007
May 2007
April 2008
August 2008
September 2008
October 2008
November 2008
January 2009

Friends

*)Iin
Abhirhay
Adai
Avianto
Bahtiar
Benny Chandra
Budi Rahardjo
Budi Wijaya
Canti
Diaz Fitra
Didats Triadi
Dody
Emil
Enda Nasution
Farhana
Farid Gaban (Pena Indonesia)
Farid Gaban (Solilokui)
Fisto
Goiq
Guntur
Hermawan Kartajaya
Idban
Ikhlasul Amal
Imponk
Kere Kemplu
Mbak Syl
Lantip
Luluk
Maknyak
Manda
MDAMT
Nurani Susilo
Priyadi
Riza Nugraha
Rudy
Sa
Thomas Arie Setiawan
Tiwi
Wimar Witoelar
Yulian Firdaus

Credits

Blogger
Haloscan
Photobucket


Nedstat Basic - Free web site statistics Personal homepage website counter