Wednesday, October 20, 2004
Ketika itu Memang 20 Oktober (Mengenang Sang Ksatria, BJ Habibie)
"Nak, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?". Si anak menjawab dengan lantang "Aku pengen jadi Habibie". Kalimat itu dulu sering meluncur dari mulut-mulut orang. Sekarang, kalimat itu sudah hampir nggak ada. Tapi Semangat ke-Habibie-an masih tetap tersimpan erat dalam lubuk hati setiap insan yang mengidolakannya. BJ Habibie, dia adalah salah satu idola Saya. Sukses sebagai bangsawan, negawaran, ilmuwan, tapi "gagal" dalam berpolitik. "Politik itu memang banyak tikus-tikus hidup maupun mati yang udah busuk". Tidak cocok seorang Habibie masuk kedalamnya. Tapi apa boleh buat, perintah sang bapak (Soeharto) membuatnya harus ikut didalamnya. Setahu Saya, Pak Harto memang sudah dianggap seperti bapak sendiri olehnya.
Hari ini memang 20 oktober, hari dimana BJ Habibie dengan "ikhlas" merelakan jabatan tinggi itu. Ia tidak tamak setelah laporan pertanggung jawabannya ditolak. Padahal beliau berhasil menegakkan demokrasi, kebebasan pers, dan satu lagi menurunkan serta menguatkan nilai tukar Rupiah. Rupanya, politikus-politikus waktu itu tidak bergeming. Malah mereka mencemooh Habibie. Beliau mundur dengan ikhlas. Ke"ikhlasan"nya Beliau tunjukkan dengan menghadiri pelantikan presiden baru. Berbeda dengan Presiden sekarang, sampai tulisan ini ditulis tetap menyatakan ketidak-hadirannya karena takut di fait accomply. Mengenaskan...
Beberapa hari yang lalu, Saya yang penggemar setia "Resonansi"nya Republika (terutama tulisan Zaim Uchrowi, Ade Armando dan Asro Kamal Rokan), sedikit terhanyut membaca tulisan sang Pemred Asro Kamal Rokan. Tulisannya itu adalah hasil flashback nya 20 oktober 1999 lalu. Hampir saja meneteskan air mata. Sungguh kasian sama Pak Habibie. Dia itu bagai usai manis sepah dibuang. Kita cuma berdoa, semoga dia terus diberi kelapangan hati dan semoga istrinya diberi kesembuhan dan kesehatan. Semoga Beliau diberi hari tua yang tenang, hidup bahagia bersama anak, istri dan cucu-cucu... Amien. Tulisan berikut saya ambil dari sini:
Mengenang Keikhlasan BJH
Oleh : Asro Kamal Rokan
Rabu, 20 Oktober 2004, insya Allah, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla akan dilantik sebagai presiden dan wapres RI. Lima tahun lalu, pada hari dan tanggal yang sama, tepatnya Rabu 20 Oktober 1999 pukul 08.40, Bacharuddin Jusuf Habibie (BJH)--dengan wajah cerah dan penuh senyum--menyampaikan pernyataan penting.
Inilah pernyataan itu: Wakil-wakil rakyat telah menyimpulkan, saya tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan. Sehubungan dengan itu, saya Bacharuddin Jusuf Habibie menyatakan bahwa saya tidak menyanggupi menerima pencalonan saya sebagai presiden masa bakti 1999-2004.
Suasana di ruang belakang rumah Pak BJH mendadak sunyi, tapi setiap hati tentulah berbicara. Ia melanjutkan, ''Saya menyerukan kepada saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air, untuk tetap menjaga ketenteraman dan ketenangan, serta menghindarkan diri dari tindak kekerasan, yang dapat mengganggu sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan terselenggaranya berbagai agenda reformasi.''
Saya tak dapat melupakan saat penting itu. Selasa (19/10) malam, pidato pertanggungjawaban BJH ditolak MPR dengan selisih hanya 33 suara, dari total 690 suara. Ketika Ketua MPR Amien Rais mengumumkan hasil voting, para pemenang--termasuk anggota Golkar, partai yang ikut dibesarkannya dan resmi mencalonkannya--bertepuk tangan. Mereka girang. Bahkan ada yang berteriak, ''Hidup Megawati ...!''
Dini hari 20 Oktober itu, beberapa tokoh berkumpul di rumah Pak BJH. Beberapa di antaranya meminta BJH tetap maju karena konstitusi tak melarangnya. Namun, Pak BJH tetap tak bersedia. Ia tahu etika. Dan, Rabu pagi, Pak BJH dengan sangat tenang mengumumkan pernyataan menolak dicalonkan. Ia tak kecewa, karena, ''Saya telah berusaha. Allah yang menentukannya.''
Sidang Umum MPR itu sesungguhnya pembantaian. Para politisi kasak-kusuk mempermalukan Pak BJH. Bahkan mereka menolak berdiri saat Pak BJH masuk ke ruang sidang paripurna. Alasan mereka, posisi MPR lebih tinggi dari presiden. Saya tak tahu apakah mereka kini merasa malu dengan sikap kekanak-kanakan itu, sebab setelah Pak BJH jatuh, mereka kembali berdiri.
Tapi Pak BJH tidak marah. Ia justru mengajarkan etika. Ia melangkah tenang dan menyatakan terima kasih pada MPR dan mengucapkan selamat kepada presiden terpilih Abdurrahman Wahid dan wapres Megawati.
Usai serah terima jabatan, di pintu keluar gedung Nusantara V, saya salami Pak BJH dan menyampaikan perasaan hati saya. Pak BJH justru tenang. ''Gus Dur dan Megawati dipilih secara demokratis. Dukunglah mereka, saya percaya mereka akan membawa kemajuan bangsa ini,'' katanya singkat dan sangat merdu didengar.
Saya mengenal Pak BJH sejak menjadi menristek/kepala BPPT. Kami berkali-kali berbincang soal politik di ruangannya yang penuh replika pesawat. Dari situ saya tahu raut wajahnya saat marah atau senang. Malam itu, usai serah terima jabatan dan plat mobil RI-1 dicopot, pengawalan tidak lagi ketat, wajah Pak BJH terlihat cerah. Ia ikhlas. Sambil berlalu, terngiang di telinga saya ucapannya dahulu: Saya ini tertendang-tendang di dunia politik.
Pak BJH adalah korban para petualang politik. Mereka tidak peduli atas sukses BJH untuk kepentingan rakyat: Dalam waktu 512 hari, angka inflasi turun, posisi rupiah kuat dari Rp 15.000 menjadi Rp 6.500 (sampai saat ini angka itu tidak lagi tercapai), pemilu berlangsung demokratis setelah 1955, pers bebas, hak bersuara bebas, hak berserikat bebas, dan status Timtim terselesaikan. BJH dikecam karena Timtim lepas, namun pemerintah berikutnya menikmati keputusan yang dianggap salah itu.
Pak BJH tidak marah apalagi mutung. Kini ia menghabiskan masa tuanya bersama istrinya tercinta, Ibu Hasri Ainun. Mendirikan Habibie Center untuk kepentingan demokrasi. BJH tenang karena dia negarawan. Saat-saat peralihan kekuasaan sekarang ini, saya terkenang keikhlasan Pak BJH. Keikhlasan membuat lelaki bertubuh kecil itu begitu besar dan gagah saat melangkah meninggalkan kekuasaan. Ia tahu kekuasaan ibarat pilot pesawat, yang pada saatnya harus turun dan diganti. Lalu, untuk apa ditangisi?
Kekuasaan sering sekali berubah menjadi berhala. Mereka memuja dan tunduk pada kehendaknya. Ketika kekuasaan lepas, mereka merasa terpelanting di sudut gelap dan sempit, merasa tidak lagi dipedulikan, dikhianati, dan diperlakukan tidak adil. Mereka lupa, kekuasaan adalah ruang terbuka, yang setiap orang dapat melihat dan memberikan penilaian. Orang ikhlas tidak menyalahkan orang lain, apalagi merasa dikhianati. Peribahasa Melayu sangat bijak mengatakan: Awak tak pandai menari, jangan lantai disalahkan.
Pak BJH telah memberikan teladan, yang mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan dapat menjadi berhala dan itu artinya menduakan Allah, pemilik kekuasaan sesungguhnya. Tak banyak orang seikhlas BJH, dan karena itu--di saat peralihan kekuasaan sekarang ini--banyak orang mengenang dan merindukannya. Seorang negarawan akan tetap dihormati, dikenang, dan dirindukan.
Salam hormat buat Pak Habibie,
Syahrani AR