Saturday, December 25, 2004
Rakyat Elit dan Rakyat Alit (Kecil)
"dik, jangan lupa ntar jumatan di Masjid Agung (Masjid Al-Akbar Surabaya)"
Begitulah pesan singkat yang diucapkan mama Saya selepas sholat Shubuh kemarin Jumat. Sebuah pesan yang tak lazim diucapkan, karena bagaimanapun juga setiap sholat Jumat, pasti Saya sholatnya di Masjid terbesar kedua di Indonesia itu karena memang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah. Setelah Saya tanya kenapa beliau berucap seperti itu, beliau hanya berujar "soalnya nanti ada Imam masjidil Haram yang bertidak sebagai imam".
Mendengar kata itu Saya hanya biasa saja sembari dalam hati berujar "apa bedanya imam Masjidil Haram dengan Imam lulusan IAIN atau UIN?". Hmm akhirnya Saya simpan pertanyaan itu sampai nanti ketika Saya sholat disana.
Siang itu tak seperti biasanya. Jalan masuk ke Masjid terbesar kedua itu benar-benar macet. Semua orang berdesak-desakan, semua orang menginginkan kendaraan mereka masuk duluan, parkir dan kemudian mereka duduk manis di masjid. Tak ada kata "asshobaaru ya'iinu 'ala kulli amalih" (Sabar itu sangat membantu setiap pekerjaan). Tidak ada rasa sabar yang konon menjadi trade mark umat Islam sebagaimana diajarkan untuk selalu bersabar. Yang ada hanya rasa egois pengen masuk duluan, enak sendiri, mirip seperti orang yang berebut untuk melaksanakan Jumroh pada saat haji. Dalam jumroh, mereka tak peduli orang disamping mereka, mereka tak peduli apakah ada orang yang diinjaknya, yang ada hanyalah keakuan, "aku, aku, dan aku".
Saya memilih untuk tidak berebut masuk ke dalam. Memarkirkan kendaraan diluar seraya berdoa agar kendaraan ini tak hilang (hohoho). Jalan lumayan jauh dengan sengatan sinar matahari yang sangat panas. Sampai didalam masjid alangkah kaget Saya disitu sudah ada puluhan ribu jamaah yang telah duduk manis. Saya yang biasanya dapat shaff sekitar depan, terpaksa dapat shaff yang jauh dibelakang. Saya kemudian berpikir, Jumat ini tidak seperti jumat biasanya. Puluhan ribu orang datang dari 8 penjuru mata angin (meminjam istilah bung Akbar Tandjung ketika kalah di Munas kemarin) hanya untuk dapat menyaksikan Syaikh itu. Yang Saya tau, Imam Masjidil Haram itu ada 2 dan Saya ingat nama pendeknya. Yang satu Syaikh Sudais dan satu lagi Syaikh Syuraim. dan ternyata yang datang Syaikh Sudais.
Mengapa Saya bisa mengatakan mereka datang hanya ingin menyaksikan dan berjamaah dengan Imam tersebut? Karena khutbah Imam tersebut berbahasa Arab, sedang first language kita adalah bahasa Indonesia. Saya yakin lebih dari 70% tidak paham apa yang diutarakannya kecuali kalau memang ada ayat-ayat Qur'an yang disampaikan dan ayat-ayat tersebut cukup familiar. Kalau kesimpulan pertama Saya salah, maka saya ambil kesimpulan kedua. Ketika selesai sholat Jumat dan akan ada pembacaan terjemahan dari khutbah syaikh oleh salah satu dosen IAIN Surabaya, sebagian besar jamaah memilih untuk pulang karena tidak menarik lagi. Dan kesimpulan yang terakhir, mereka ingin ikut berjamaah dengan Syaikh karena suara Syaikh tersebut sering kita dengar di kaset-kaset, mp3, CD yang seringkali diputar dan memang sangat merdu.
Aaahh ternyata tak ada bedanya antara Imam Masjidil Haram dengan Kampanye Presiden SBY. Andai saja Presiden yang beri khutbah pada saat itu, tentu juga akan ramai orang berdatangan mirip seperti kemarin. Dari kalangan muspida dan pejabat, orang yang hanya ingin sekedar melihat dari dekat sampai orang yang demo meminta harga BBM tidak dinaikkan. Saya berkesimpulan ternyata istilah Rakyat Elit dan Rakyat Alit (kecil) tidak hanya berada di dunia perpolitikan. Agama pun punya Rakyat Elit dan Rakyat Alit. Seperti lazimnya di perpolitikan, Rakyat Elit akan selalu dikerubungi, dipuja, dipuji, disanjung oleh rakyat alit. Andai saja pada saat itu yang khutbah adalah tukang becak tetangga sebelah, siapa yang mau datang ke masjid itu? puluhan ribu orang? aaaahh yang bener aja.. mimpi kali yeeee!!!
Padahal tak ada bedanya siapa imam yang akan memimpin sholat. Sholat yang baik tetap akan diterima dan begitupun sebaliknya.Tak peduli dia Imam Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, atau Imam yang berprofesi sebagai tukang becak sekalipun. Kalau ada yang menjamin "barang siapa menjadi berjamaah dengan Imam Masjidil Haram maka dia akan disayang Allah", maka Saya orang pertama yang akan mendaftar ke Mekah. Tapi Alhamdulillah, Allah sangat adil dan fatwa itu tidak Beliau keluarkan. Sehingga berjamaah dengan siapa saja, asalkan sesuai dengan "Undang-undang", maka insyaAllah sholatnya diterima. Terakhir, Saya hanya ingin berucap....
Aaaaahhh sama saja....
Begitulah pesan singkat yang diucapkan mama Saya selepas sholat Shubuh kemarin Jumat. Sebuah pesan yang tak lazim diucapkan, karena bagaimanapun juga setiap sholat Jumat, pasti Saya sholatnya di Masjid terbesar kedua di Indonesia itu karena memang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah. Setelah Saya tanya kenapa beliau berucap seperti itu, beliau hanya berujar "soalnya nanti ada Imam masjidil Haram yang bertidak sebagai imam".
Mendengar kata itu Saya hanya biasa saja sembari dalam hati berujar "apa bedanya imam Masjidil Haram dengan Imam lulusan IAIN atau UIN?". Hmm akhirnya Saya simpan pertanyaan itu sampai nanti ketika Saya sholat disana.
Siang itu tak seperti biasanya. Jalan masuk ke Masjid terbesar kedua itu benar-benar macet. Semua orang berdesak-desakan, semua orang menginginkan kendaraan mereka masuk duluan, parkir dan kemudian mereka duduk manis di masjid. Tak ada kata "asshobaaru ya'iinu 'ala kulli amalih" (Sabar itu sangat membantu setiap pekerjaan). Tidak ada rasa sabar yang konon menjadi trade mark umat Islam sebagaimana diajarkan untuk selalu bersabar. Yang ada hanya rasa egois pengen masuk duluan, enak sendiri, mirip seperti orang yang berebut untuk melaksanakan Jumroh pada saat haji. Dalam jumroh, mereka tak peduli orang disamping mereka, mereka tak peduli apakah ada orang yang diinjaknya, yang ada hanyalah keakuan, "aku, aku, dan aku".
Saya memilih untuk tidak berebut masuk ke dalam. Memarkirkan kendaraan diluar seraya berdoa agar kendaraan ini tak hilang (hohoho). Jalan lumayan jauh dengan sengatan sinar matahari yang sangat panas. Sampai didalam masjid alangkah kaget Saya disitu sudah ada puluhan ribu jamaah yang telah duduk manis. Saya yang biasanya dapat shaff sekitar depan, terpaksa dapat shaff yang jauh dibelakang. Saya kemudian berpikir, Jumat ini tidak seperti jumat biasanya. Puluhan ribu orang datang dari 8 penjuru mata angin (meminjam istilah bung Akbar Tandjung ketika kalah di Munas kemarin) hanya untuk dapat menyaksikan Syaikh itu. Yang Saya tau, Imam Masjidil Haram itu ada 2 dan Saya ingat nama pendeknya. Yang satu Syaikh Sudais dan satu lagi Syaikh Syuraim. dan ternyata yang datang Syaikh Sudais.
Mengapa Saya bisa mengatakan mereka datang hanya ingin menyaksikan dan berjamaah dengan Imam tersebut? Karena khutbah Imam tersebut berbahasa Arab, sedang first language kita adalah bahasa Indonesia. Saya yakin lebih dari 70% tidak paham apa yang diutarakannya kecuali kalau memang ada ayat-ayat Qur'an yang disampaikan dan ayat-ayat tersebut cukup familiar. Kalau kesimpulan pertama Saya salah, maka saya ambil kesimpulan kedua. Ketika selesai sholat Jumat dan akan ada pembacaan terjemahan dari khutbah syaikh oleh salah satu dosen IAIN Surabaya, sebagian besar jamaah memilih untuk pulang karena tidak menarik lagi. Dan kesimpulan yang terakhir, mereka ingin ikut berjamaah dengan Syaikh karena suara Syaikh tersebut sering kita dengar di kaset-kaset, mp3, CD yang seringkali diputar dan memang sangat merdu.
Aaahh ternyata tak ada bedanya antara Imam Masjidil Haram dengan Kampanye Presiden SBY. Andai saja Presiden yang beri khutbah pada saat itu, tentu juga akan ramai orang berdatangan mirip seperti kemarin. Dari kalangan muspida dan pejabat, orang yang hanya ingin sekedar melihat dari dekat sampai orang yang demo meminta harga BBM tidak dinaikkan. Saya berkesimpulan ternyata istilah Rakyat Elit dan Rakyat Alit (kecil) tidak hanya berada di dunia perpolitikan. Agama pun punya Rakyat Elit dan Rakyat Alit. Seperti lazimnya di perpolitikan, Rakyat Elit akan selalu dikerubungi, dipuja, dipuji, disanjung oleh rakyat alit. Andai saja pada saat itu yang khutbah adalah tukang becak tetangga sebelah, siapa yang mau datang ke masjid itu? puluhan ribu orang? aaaahh yang bener aja.. mimpi kali yeeee!!!
Padahal tak ada bedanya siapa imam yang akan memimpin sholat. Sholat yang baik tetap akan diterima dan begitupun sebaliknya.Tak peduli dia Imam Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, atau Imam yang berprofesi sebagai tukang becak sekalipun. Kalau ada yang menjamin "barang siapa menjadi berjamaah dengan Imam Masjidil Haram maka dia akan disayang Allah", maka Saya orang pertama yang akan mendaftar ke Mekah. Tapi Alhamdulillah, Allah sangat adil dan fatwa itu tidak Beliau keluarkan. Sehingga berjamaah dengan siapa saja, asalkan sesuai dengan "Undang-undang", maka insyaAllah sholatnya diterima. Terakhir, Saya hanya ingin berucap....
Aaaaahhh sama saja....