Thursday, February 24, 2005
Kita adalah Wartawan
Menjadi wartawan itu katanya susah-susah gampang. Tulisan Nurani Susilo (yang juga koresponden Jawapos di London. Hi, mbak :p) berjudul "I wasn't brave, just stupid" tentang bagaimana situasi dan kondisi batin, fisik dan berbagai pressure yang mencekam menjelaskan betul bagaimana susahnya menjadi kuli tinta. Apabila menjadi wartawan dengan field politik, berbagai godaan datang. Uang, harta, dan lain sebagainya menjadi ancaman ketidak objektif-an berita yang ditulis dan menjadi bias. Apabila menjadi wartawan perang, maka sudah barang tentu fisik, stamina, lahir dan batin harus siap menghadapi berbagai ancaman. Media-media di Indonesia rupanya belum siap untuk mengirimkan wartawan perang. Kasus (alm.) Ersa Siregar dan Fery Santoro (wartawan RCTI) yang dulu diculik GAM selama berbulan-bulan dan kasus Meutya dan Budiyanto (wartawan Metro TV) sudah cukup untuk membuat sebuah hipotesis tentang begitu diremehkannya keselamatan seorang wartawan di medan perang.
Sebenarnya ajaran untuk menjadi wartawan sudah ada sejak kita kecil. Keinginan untuk "knowing something" dilanjutkan dengan "informing something" sudah diberikan Tuhan kepada kita sejak dulu dan merupakan anugerah-Nya.
Ketika waktu bayi kita menemukan batu, kemudian batunya kita masukan ke mulut, sudah barang tentu ibu kita langsung bilang, "eh nak jangan dimakan, itu batu bukan permen" (hehehe :p). Ketika udah besar dikit dan bisa ngomong, ada temen kita yang ngemut batu, kita langsung bilang seperti kata ibu kita, "eh itu batu, bukan perman, jangan dimakan. Dodol lu ah". (tolong itu ilernya diusap.. cuma batu aja ngiler.. kekeke :p)
Ketika kita udah sekolah dan saat ujian, kita tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan. Maka secara insting, kita (lagi-lagi) menggunakan "sense of knowing" kita untuk mencari jawaban. Dimulai dengan mata terbuka lebar, menengok kanan kiri secara sembunyi-sembunyi, memanggil teman yang duduk di sekitarnya dan akhirnya dapetlah jawaban "A". Setelah tau jawaban "A", langsung kita beritai (:p) teman-teman lain yang membutuhkan. Dengan sembunyi-sembunyi, langsung kita berikan jawaban "A". baik itu dengan petunjuk jari ataupun dengan bisikan (bukannya saya pengalaman lho yaa.. hehehe :p). Tak kalah dengan wartawan sungguhan, wartawan ini punya risk (resiko) juga yakni ketahuan gurunya (hehehehe :p).
Sampai kita bekerja sekarang, kita masih tetap menjadi wartawan. Wartawan bagi diri kita sendiri, wartawan bagi teman kita, wartawan bagi rekan kerja kita, wartawan bagi bos kita maupun wartawan bagi masyarakat.
Now you can see, bahwa sesungguhnya ajaran untuk menjadi wartawan itu sudah ada sejak kita kecil dan kita semua adalah wartawan. Bedanya, wartawan punya koran or media lainnya sedang kita (yang juga wartawan) tidak punya akses tersebut.
Tapi jangan khawatir, That's what blog is for :) Kalo kata mas Benny, "Hare gene gak ngeblog? Ih, ke laut aja deh!" :p
Ketika kita (bloggers) mencari ide, baca sana baca sini, mencari inspirasi menulis, mencari bahan untuk menulis, menceritakan kehidupan kita, bahkan mewawancarai (ngobrol) narasumber kita, kemudian menuliskannya di blog kita masing-masing, maka kurang lebih itulah sebuah proses dari (apa yang dijalankan) wartawan. Mejadi seorang blogger itu juga susah. Kita tidak dibayar tetapi kita menulis. Kita tidak terima gaji, tapi kita tetap berusaha keras menyuguhkan tulisan atau cerita atau postingan sebaik mungkin untuk dibaca. Apa mungkin tugas blogger lebih susah dari wartawan yaa? Kan gak dibayar? bayar hosting malah iya :p (hehehe)
Tapi tenang, ketika kita menulis, berdiskusi (menulis comment), mencari ide baru lewat blog, kita sesungguhnya adalah beramal :) Bayangkan apabila memberi sebuah ilmu (ide or hikmah) melalui satu postingan kemudian ada seseorang yang membaca dan dia mengajarkan ilmu tersebut ke orang, maka pahala kita kan juga bertambah dan terus berlanjut seperti rantai sampai ketika kita mati :)
Aaah blogger juga wartawan kok. Orang biasa pun juga wartawan walaupun tak sepenuhnya. Tapi setidaknya, "sense of knowing" dan "sense of informing" itu merupakan anugerah buat kita. Mari kita mensyukuri :)
Let's keep on blogging :)
Journalism is organized gossip.
- Edward Eggleston (American Writer Historian)
Sebenarnya ajaran untuk menjadi wartawan sudah ada sejak kita kecil. Keinginan untuk "knowing something" dilanjutkan dengan "informing something" sudah diberikan Tuhan kepada kita sejak dulu dan merupakan anugerah-Nya.
Ketika waktu bayi kita menemukan batu, kemudian batunya kita masukan ke mulut, sudah barang tentu ibu kita langsung bilang, "eh nak jangan dimakan, itu batu bukan permen" (hehehe :p). Ketika udah besar dikit dan bisa ngomong, ada temen kita yang ngemut batu, kita langsung bilang seperti kata ibu kita, "eh itu batu, bukan perman, jangan dimakan. Dodol lu ah". (tolong itu ilernya diusap.. cuma batu aja ngiler.. kekeke :p)
Ketika kita udah sekolah dan saat ujian, kita tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan. Maka secara insting, kita (lagi-lagi) menggunakan "sense of knowing" kita untuk mencari jawaban. Dimulai dengan mata terbuka lebar, menengok kanan kiri secara sembunyi-sembunyi, memanggil teman yang duduk di sekitarnya dan akhirnya dapetlah jawaban "A". Setelah tau jawaban "A", langsung kita beritai (:p) teman-teman lain yang membutuhkan. Dengan sembunyi-sembunyi, langsung kita berikan jawaban "A". baik itu dengan petunjuk jari ataupun dengan bisikan (bukannya saya pengalaman lho yaa.. hehehe :p). Tak kalah dengan wartawan sungguhan, wartawan ini punya risk (resiko) juga yakni ketahuan gurunya (hehehehe :p).
Sampai kita bekerja sekarang, kita masih tetap menjadi wartawan. Wartawan bagi diri kita sendiri, wartawan bagi teman kita, wartawan bagi rekan kerja kita, wartawan bagi bos kita maupun wartawan bagi masyarakat.
Now you can see, bahwa sesungguhnya ajaran untuk menjadi wartawan itu sudah ada sejak kita kecil dan kita semua adalah wartawan. Bedanya, wartawan punya koran or media lainnya sedang kita (yang juga wartawan) tidak punya akses tersebut.
Tapi jangan khawatir, That's what blog is for :) Kalo kata mas Benny, "Hare gene gak ngeblog? Ih, ke laut aja deh!" :p
Ketika kita (bloggers) mencari ide, baca sana baca sini, mencari inspirasi menulis, mencari bahan untuk menulis, menceritakan kehidupan kita, bahkan mewawancarai (ngobrol) narasumber kita, kemudian menuliskannya di blog kita masing-masing, maka kurang lebih itulah sebuah proses dari (apa yang dijalankan) wartawan. Mejadi seorang blogger itu juga susah. Kita tidak dibayar tetapi kita menulis. Kita tidak terima gaji, tapi kita tetap berusaha keras menyuguhkan tulisan atau cerita atau postingan sebaik mungkin untuk dibaca. Apa mungkin tugas blogger lebih susah dari wartawan yaa? Kan gak dibayar? bayar hosting malah iya :p (hehehe)
Tapi tenang, ketika kita menulis, berdiskusi (menulis comment), mencari ide baru lewat blog, kita sesungguhnya adalah beramal :) Bayangkan apabila memberi sebuah ilmu (ide or hikmah) melalui satu postingan kemudian ada seseorang yang membaca dan dia mengajarkan ilmu tersebut ke orang, maka pahala kita kan juga bertambah dan terus berlanjut seperti rantai sampai ketika kita mati :)
Aaah blogger juga wartawan kok. Orang biasa pun juga wartawan walaupun tak sepenuhnya. Tapi setidaknya, "sense of knowing" dan "sense of informing" itu merupakan anugerah buat kita. Mari kita mensyukuri :)
Let's keep on blogging :)
Journalism is organized gossip.
- Edward Eggleston (American Writer Historian)