Wednesday, March 23, 2005
Cermin dan Kaca
Saya pernah denger beberapa orang orang bilang "ngaca lo". Terlebih ketika dia melakukan sesuatu yang bukan kapasitasnya. Sebagai contoh, seorang penyanyi kamar mandi suatu hari ikut audisi Indonesian Idol dengan target masuk 10 besar. "Ngaca dong, lo!". Contoh lagi, ada seorang gadis berpenampilan pas-pasan mengajukan diri menjadi model gadis sampul, sudah barang tentu teman-temannya yang sirik bilang "ngaca napa tuh orang" walopun itu dikatakan dalam hari. Bahkan lebih parah lagi "Ntar deh gue beliin kaca biar dia ngaca dulu!"
Cermin adalah sebuah benda yang tak pernah lepas dari kehidupan seseorang. Terlebih wanita yang hampir kemana dia pergi, cermin selalu ada di dalam tasnya. Bahkan cermin itu menyatu dengan bedak atau dompet khusus buat kosmetik. Begitupun dengan pria metromini-seksual :p cermin atau kaca itu tak dari dirinya. Di mobil, di spion sepeda motor, di angkot, di bus bahkan di sekeliling kita. Coba kita liat jauh dari tempat dimana kita duduk depan komputer, kalo ada kaca maka kaca itu bisa buat bercermin. Satu lagi, coba matikan monitor Anda, maka monitor Anda pun bisa dibuat cermin.
"Mirrors never lie" adalah ungkapan yang salah. Waktu masih SMU, Saya pernah berkaca pada kaca yang berbeda. Kaca kamar mandi mencerminkan diriku yang jelek. Berbeda dengan cermin di kamar, entah kenapa cermin di kamar membuat diriku ganteng (ekhekehhekheke). Mungkin karena intensitas cahaya atau pantulan cahaya yang dipantulkan menyebabkan hasil yang berbeda.
Lebih dramatis lagi kalau Anda berkaca pada sendok. Satu sisi cembung di belakang membuat Anda melebar, besar dan molor. Sisi lain yang cekung pun begitu pula, malah menjadikan kita terbalik, kecil dan panjang. Spion pada mobil pun "berbohong" dengan maksud baik agar kita lebih waspada. Malah jelas tertulis di spion "objects in mirror are closer than they appear". Benda itu semua berfungsi sebagai cermin tapi dalam porsi yang berbeda.
Tapi setidaknya, cermin-cermin tersebut tetap merefleksikan diri kita. Walaupun hanya abstrak tapi tetap terlihat objek yang dia pantulkan. Tentu disadari bahwa cermin adalah tempat untuk melihat. Melihat diri kita sendiri. Introspeksi, merefleksikan diri kita, dan menilai diri kita sendiri.
Namun, ada cara lain yang berfungsi sama seperti cermin yaitu bertanya kepada orang lain. Bertanya kepada orang lain tentang bagaimana diri kita ini. Orang-orang di sekitar kita ternyata juga cermin kita, orang yang kita cintai adalah tempat kita mengeluhkan permasalahan, tempat kita untuk berbuat lebih baik dan menerima saran serta kritik. Walaupun demikian terkadang "cermin" yang satu ini terlalu bias dan tidak objektif.
Sehingga dengan asas keseimbangan, yang tahu diri kita adalah diri kita sendiri. Apapun kata orang, apapun kata cermin, apapun kata kaca, yang tahu diri kita adalah kita sendiri.
Dan inilah yang terpenting dari semua ini. Cermin hanya sebuah benda, masalah sebenarnya bagaimana melihat diri kita sendiri di cermin-cermin itu dan tak lupa, kita lebih tau daripada cermin karena cermin hanyalah penyeimbang dari persepsi kita. Jadi, bukan cermin yang mempermainkan kita, tapi bagaimana kita memainkan cermin agar "cermin" berkata dengan sebenarnya dan sejujurnya. Lipstik pun tidak belepotan di pipi, bedak pun tidak over-used....
If the only tool you have is a hammer, you tend to see every problem as a nail.
-Abraham H Maslow
Cermin adalah sebuah benda yang tak pernah lepas dari kehidupan seseorang. Terlebih wanita yang hampir kemana dia pergi, cermin selalu ada di dalam tasnya. Bahkan cermin itu menyatu dengan bedak atau dompet khusus buat kosmetik. Begitupun dengan pria metromini-seksual :p cermin atau kaca itu tak dari dirinya. Di mobil, di spion sepeda motor, di angkot, di bus bahkan di sekeliling kita. Coba kita liat jauh dari tempat dimana kita duduk depan komputer, kalo ada kaca maka kaca itu bisa buat bercermin. Satu lagi, coba matikan monitor Anda, maka monitor Anda pun bisa dibuat cermin.
"Mirrors never lie" adalah ungkapan yang salah. Waktu masih SMU, Saya pernah berkaca pada kaca yang berbeda. Kaca kamar mandi mencerminkan diriku yang jelek. Berbeda dengan cermin di kamar, entah kenapa cermin di kamar membuat diriku ganteng (ekhekehhekheke). Mungkin karena intensitas cahaya atau pantulan cahaya yang dipantulkan menyebabkan hasil yang berbeda.
Lebih dramatis lagi kalau Anda berkaca pada sendok. Satu sisi cembung di belakang membuat Anda melebar, besar dan molor. Sisi lain yang cekung pun begitu pula, malah menjadikan kita terbalik, kecil dan panjang. Spion pada mobil pun "berbohong" dengan maksud baik agar kita lebih waspada. Malah jelas tertulis di spion "objects in mirror are closer than they appear". Benda itu semua berfungsi sebagai cermin tapi dalam porsi yang berbeda.
Tapi setidaknya, cermin-cermin tersebut tetap merefleksikan diri kita. Walaupun hanya abstrak tapi tetap terlihat objek yang dia pantulkan. Tentu disadari bahwa cermin adalah tempat untuk melihat. Melihat diri kita sendiri. Introspeksi, merefleksikan diri kita, dan menilai diri kita sendiri.
Namun, ada cara lain yang berfungsi sama seperti cermin yaitu bertanya kepada orang lain. Bertanya kepada orang lain tentang bagaimana diri kita ini. Orang-orang di sekitar kita ternyata juga cermin kita, orang yang kita cintai adalah tempat kita mengeluhkan permasalahan, tempat kita untuk berbuat lebih baik dan menerima saran serta kritik. Walaupun demikian terkadang "cermin" yang satu ini terlalu bias dan tidak objektif.
Sehingga dengan asas keseimbangan, yang tahu diri kita adalah diri kita sendiri. Apapun kata orang, apapun kata cermin, apapun kata kaca, yang tahu diri kita adalah kita sendiri.
Dan inilah yang terpenting dari semua ini. Cermin hanya sebuah benda, masalah sebenarnya bagaimana melihat diri kita sendiri di cermin-cermin itu dan tak lupa, kita lebih tau daripada cermin karena cermin hanyalah penyeimbang dari persepsi kita. Jadi, bukan cermin yang mempermainkan kita, tapi bagaimana kita memainkan cermin agar "cermin" berkata dengan sebenarnya dan sejujurnya. Lipstik pun tidak belepotan di pipi, bedak pun tidak over-used....
If the only tool you have is a hammer, you tend to see every problem as a nail.
-Abraham H Maslow