Syahrani's Weblog Rani-Rina's Weblog
Monday, May 02, 2005

Menghargai Eksistensi Anak Kecil dan Mengubah Persepsi

Sudah menjadi tipikal orang kita, setidaknya menurut pengalaman Saya, eksistensi anak kecil, jarang atau mungkin tidak pernah diperhitungkan. Anak kecil atau anak-anak, sudah mulai dipangkas kekreatifannya dan bukan dikembangkan sejak ia kecil dan semua kekuasaan seolah2x menjadi milik orang tua. Dan kekuasaan orang tua terkadang absolut dengan dalih "gue yang cari duit" dan "gue yang ngelahirin elo". Dua tulisan yang pas mungkin tulisan Mas Priyadi tentang SMA 3 Bandung yang bercerita ttg guru (bukan orang tua!) menghina anak dengan ucapan "kalau sudah miskin jangan macam-macam!", dan tulisan yang "melawannya" adalah tulisan lawasnya Mbak Nurani Susilo di Inggris, ketika bagaimana anak itu dihargai eksistensinya dan anak itu bukan milik orang tua, ia milik Tuhan! Sebuah sistem yang luar biasa (Inggris) bagusnya ketika eksistensi anak dan hak-hak anak dijaga sejak ia masih di dalam kandungan.

Kata-kata atau kalimat-kalimat yang cukup familiar di telinga Saya dari dulu adalah "Anak kecil kok ikut-ikut". Kalau di Solo atau jogja sering orang tua bilang "Cah cilik kok melu-melu". Lain lagi orang Surabaya, "Opo ae kon iku, arek sa'iprit kok melu-melu". Sekali lagi, anak kecil menjadi "tidak berarti". Apalagi kalau udah bertemu dengan falsafah "pokoknya" yang sulit Saya temukan padanan Inggrisnya. "Pokoknya kamu harus gini gini gini", "Pokoknya kamu harus gitu". Anehnya, kata "pokoknya" lebih pas kalo diomongkan dalam bahasa Indonesia. Apa emang lahir di Indonesia yaa ungkapan "pokoknya"?

Hmm yang aneh lagi adalah ungkapan yang tidak logis. Dulu waktu kecil kita dibilangin "Gak boleh ngerokok yaa??!! Soalnya kamu belum bisa cari uang sendiri!" Hmm sebenarnya apa sih hubungan antara mencari uang sendiri dan larangan merokok? Apa berarti ketika sudah mencari uang sendiri merokok menjadi sebuah keharusan? Bukankah larangan merokok itu merusak kesehatan? Tetapi mengapa dihubungkan dengan mencari uang sendiri? Hmm kadang anak kecil mudah dibodohi memang.

Ketika Saya kelas 3 SMU, Saya dan kawan-kawan pernah membuat sebuah buku berjudul "The Journey in a Holy Jail". Dan didalam buku tersebuat Saya menulis dua buah tulisan dan salah satunya berbahasa Inggris ala kadarnya berjudul "The Clash of Generation". Judul ini terilhami oleh judul bukunya Samuel Huntington yakni "The Clash of Civilization". Dalam tulisan tersebut Saya bercerita tentang seorang anak kecil (berumur 3-6 tahun, lupa persisnya) yang sudah hafal nama nama Presiden dan menterinya serta struktur-struktur kenegaraan semacam presidentil dan parlementer. Sehingga membawa Saya pada suatu kesimpulan, pada suatu saat generasi-generasi yang ada akan salip-menyalip. Umur Saya yang 20, tidak menjamin bahwa Saya lebih pintar dari adik kelas Saya. Umur Anda yang 30 tahun keatas tidak mejamin Anda lebih pintar dari generasi 20an. Begitu selanjutnya dan seterusnya. Artinya memang umur itu hanya bilangan, dan sebuah ilmu bisa datang dari siapa saja, termasuk dari anak kecil sekalipun! Dan ini yang tidak boleh diremehkan.

Ada yang lain lagi yang menghambat kekreatifan anak-anak sejak kecil, yaitu paradigma tentang Tuhan.

Anda masih ingat ketika kecil dulu Anda selalu diingatkan dengan dosa? Mau begini salah dan mau begitu salah? Misalnya, dulu kalau kita bohong, kita selalu ditakut-takuti dengan ucapan "Eh kamu jangan bohong ya, nanti di neraka lidahmu dipotong-potong terus tumbuh lagi, dipotong-potong terus tumbuh (panjang) lagi, gitu terus pokoknya. Mau kamu?" Atau ada yang lain lagi, "Eh kamu jangan bohong ya, nanti kamu masuk neraka dan lidahmu disetrika". "Ayo jangan ngambil uang om, nanti tangannya dipotong lhoo di neraka". Belum lagi adanya komik-komik semacam "Karma dan Saleh" ataupun komik-komik yang bercerita tentang neraka dan surga.

Kalau dipikir-pikir, kok kejam banget yaa Tuhan? sampai mau menyeterika lidah kita? Sampai mau motong tangan kita? Nyempelungin kita ke air yang panas dan ke api yang panas berlipat-lipat dari api dunia? Anda percaya?

Saya percaya sebagian, tapi bukan begitu cara untuk menjelaskan. Dan seharusnya bukan ditakut-takuti caranya...

Begini saja, di dalam Asma Al-husna, 99 nama Allah, hanya satu yang "negatif" yaitu Maha menyiksa atau the avenger -Al Muntaqim- (tolong jangan ambil negatif secara eksplisit). Ini sudah Saya cek berkali-kali bahkan sebelum Saya membuat tulisan ini. Artinya, sifat Allah yang ada itu sebagian besar (lebih dari 97%) adalah yang baik-baik dan indah-indah seperti Maha Pengampun, Maha Memberi Rezeki, Maha Pemurah, Maha sabar, Maha Terpuji, Maha Melindungi dan lainnya.

Anda masih bepikir jelek tentang Tuhan? Coba baca lagi deh Asmaul Husna, resapi dan nikmati aja bagaimana "baik"nya Tuhan itu. Tapi sejak kecil, kita sering dibilangi kalau nanti kita dicelupkan di air yang panas, kemudian diangkat lagi, kemudian dimasukkan lagi dan seterusnya.

Sehingga tak heran, manusia yang dihasilkan adalah manusia yang takut akan atasan. Manusia yang dihasilkan adalah manusia yang terpaksa untuk "beribadah". Sholat hanya karena keharusan dan keterpaksaan, bukan karena kita butuh mengadu dan mengaduh serta berkomunikasi dengan Tuhan.

Saya termasuk orang yang yakin dengan luar biasa kebaikan Tuhan. Mas Bahtiar pernah berkomen pada sebuah blog dengan pertanyaan yang bagus "Apakah tuhan marah kalau namanya ditulis pake t (te) kecil?" Apa mungkin gara-gara nama-Nya ditulis di cover kaset Dewa Tuhan akan marah? Tidak, Beliau maha mengetahui, Beliau Maha Pengampun. Beliau sayang banget kok ama Ahmad Dhani. Beliau juga sayang banget ama FPI atau Habib Rizieq. Dan beliau juga sayang banget ama makhluk-makhlukNya. Tak mungkin Tuhan menciptakan makhluknya hanya untuk masuk neraka, itu hanya pikiran kita aja sejak kecil sudah dicekoki begitu. Padahal, Tuhan itu sungguh luar biasa sifatnya dan sifat-sifat ke-maha-an itu tidak ada satupun (sekali lagi, tidak ada satupun!) yang dimiliki oleh Manusia. Dengan dalih agama terkadang manusia memvonis manusia yang lainnya. Dengan dalih agama manusia menganggap manusia yang lain salah. Dan dengan dengan dalih agama, kita secara tidak sadar menomer sekiankan Tuhan dan agama menjadi Tuhan itu sendiri.

Cobalah ubah persepsi kita tentang anak kecil dan cara mengajarkannya. Jangan menghambat kreatifitasnya dan jangan menumbuhkan persepsi di pikirannya bahwa Tuhan itu jahat seperti kita dulu. Saya yakin anak-anak Indonesia adalah anak-anak yang cerdas, hanya kesalahan sistem aja yang membuat kita seperti ini. Dengan begitu, kita bisa belajar dari siapa aja. Dari anak kecil, dari anak gede, dari orang yang sudah tua sekalipun. Dan....

Dengan belajar, suatu saat kita pasti berhasil...



Author

Rani

"Syahrani's Weblog" is where I restore everything (writings, stories, religious, social, politics, current affairs, marketing, thoughts, sports, internet, essays, pictures or what so ever) that amazed me during time.

A 23 year-old, worker, family-man and a Post-Graduate MBA student. Living in Melbourne (Australia). Email: syahrani AT gmail.com .

Ads


Archives

August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
February 2007
April 2007
May 2007
April 2008
August 2008
September 2008
October 2008
November 2008
January 2009

Friends

*)Iin
Abhirhay
Adai
Avianto
Bahtiar
Benny Chandra
Budi Rahardjo
Budi Wijaya
Canti
Diaz Fitra
Didats Triadi
Dody
Emil
Enda Nasution
Farhana
Farid Gaban (Pena Indonesia)
Farid Gaban (Solilokui)
Fisto
Goiq
Guntur
Hermawan Kartajaya
Idban
Ikhlasul Amal
Imponk
Kere Kemplu
Mbak Syl
Lantip
Luluk
Maknyak
Manda
MDAMT
Nurani Susilo
Priyadi
Riza Nugraha
Rudy
Sa
Thomas Arie Setiawan
Tiwi
Wimar Witoelar
Yulian Firdaus

Credits

Blogger
Haloscan
Photobucket


Nedstat Basic - Free web site statistics Personal homepage website counter