Wednesday, August 03, 2005
Rakyat Sebelah Mana?
Sebenarnya musuh besar demokrasi adalah rakyat bodoh. Itulah kesimpulan yang menyimpulkan berbagai pengamatan pribadi saya beberapa waktu lalu ketika pulang ke tanah air.
Ketika ejakulasi demokrasi sudah tak tertahankan, mulailah sebuah jaman reformasi dikumandangkan. Sejak itulah, rakyat yang memang seharusnya berkuasa, mulai unjuk gigi. Demonstrasi mulai bermunculan. Dari mature demonstation hingga immature demonstration. Maka setiap langkah yang berdalih "atas nama rakyat" masuk dalam koridor demokrasi dan reformasi.
Pertanyaan yang jarang disebut adalah: Rakyat sebelah mana?
Kini, therapy yang bernama reformasi sudah berjalan bertahun-tahun. Sudahkah kita sembuh? Belum. Penyakit-penyakit itu bahkan sudah parah dan mejalar ke daerah yang lain. Bagi pakar demokrasi tentu berkata, demokrasi itu butuh waktu puluhan tahun. Tapi tentu, sudahkah kita berjalan kesana? Bisa jadi.
Ada rakyat yang pintar, ada juga rakyat yang luar biasa bodoh. Rakyat bodoh ini biasanya adalah rakyat bayaran. Memang harap maklum saja, kemiskinan yang cukup tinggi dan kekayaan yang juga tinggi membuat gap antara keduanya semakin lebar. In other words, yang miskin semakin miskin yang kaya semakin kaya.
Kemiskinan adalah pangkal kebodohan. Ungkapan inilah yang kira2x pas disematkan kepada mereka. Ketika tidak punya kerja, ketika tidak ada lagi yang dikerjakan, ketika tak punya uang, ketika banyak masalah, maka orang-orang inilah yang gampang dimanfaatkan. Hanya dengan uang Rp.5.000- Rp.50.000 per orang mereka berani turun ke jalan demonstrasi (bahkan melakukan apapun) meskipun mereka tahu bahwa yang mereka bela berada di pihak yang salah. Mereka juga rakyat kan? Runyamnya, orang seperti ini banyak jumlahnya dan bisa dibeli dengan harga yang sangat murah hanya untuk memenuhi hasrat politik sang politikus.
Kalau memang hal ini terjadi di satu daerah maka itu tak masalah. Tapi akan menjadi masalah bila itu terjadi hampir di seluruh daerah yang mengadakan pesta rakyat (baca: Pilkada). Pasangan balon (bakal calon) yang berjumlah lebih dari dua biasanya memanfaatkan "rakyat bodoh" untuk menggaet dukungan sekaligus siap turun ke jalan. Bagi rakyat bodoh, tak peduli apakah yang dibelanya itu benar. Tapi yang penting bagi mereka adalah bagaimana mendapatkan uang untuk mengisi perut. Iya, mengisi perut.
Fenomena seperti ini kalau dibiarkan tentu akan menjadi ladang bisnis baru bagi "preman-preman" rakyat. Misalnya, A adalah preman. Ia punya massa berjumalah 10.000 yang setiap saat 24 jam sehari 7 hari seminggu siap turun ke jalan. Ia memasang iklan bagi setiap kandidat bagi yang ingin menyewa massanya untuk turun ke jalan. Tarif A adalah Rp.50.000 per orang. Maka andaikata si bakal calon memakai jasa "germo" ini, maka ia harus menyiapkan tarif Rp. 500.000.000 (lima ratus juta) untuk sekali turun.. Berarti sekali turun ke jalan, si germo atau preman ini punya omset 500 juta. Tapi ingat itu adalah tarif germo, kalau tarif PSKnya sendiri (baca: rakyat bodoh yang turun ke jalan) paling Rp.30.000 - Rp.40.000.. Jadi katakan untuk 10.000 orang yang demo itu 400 juta. Maka 100 juta sudah masuk kantong si germo hanya untuk sekali turun ke jalan. Bisnis yang menggiurkan? Oohhh tentu saja....
Kalau dibiarkan, bukan mustahil justru rakyat sendiri yang akan musnah. Rakyat yang menuntut demokrasi yang fair, tapi rakyat sendirilah yang merusak tatanan yang ada. Kalau dipikir memang runyam. Ketika dulu PILKADA biasa, balon (bakal calon) hanya butuh menyuap anggota DPR/DPRD. Sehingga yang kaya adalah wakil rakyat. Ketika PILKADAL (pemilihan langsung) diserukan, uang suap beralih dari wakil rakyat langsung kepada rakyat yang berarti rakyat yang dapet uang. Rapuhnya mental rakyat bodoh, ia mudah diadu domba oleh bosnya. Sehingga demi mendapat beberapa puluh ribu rupiah, ia berani melakukan apa saja.
Cukup banyak fenomena seperti ini di tanah air. Tapi yang harus diketahui oleh rakyat cerdas adalah tak semua demonstrasi itu benar. Hampir semua demonstrasi adalah bayaran. Mungkin demonstrasi murni dari hati adalah demonstrasi mahasiswa. Karena idealisme yang tinggi adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda.
Tak habis pikir dengan rakyat. Kadang mereka yang menuntut, tapi mereka sendiri yang terlalu over-acting. Andaikata rakyat tidak mau dibayar, susah bagi bakal calon untuk menyuap. Tapi sayangnya, rakyat bodoh mau dibayar untuk melakukan apa saja. Dan yang untung adalah yang membayar. Ketika ia (yang membayar rakyat bodoh) terpilih menjadi kepala daerah berkat rakyat bodoh yang memilih dan mendukung, ia sudah kehabisan modal, dan sekarang adalah saat yang tepat untuk mengembalikan modal yang telah dibayarkan waktu pemilihan yang berjumlah milliaran itu selama 5 tahun ke depan. Lewat jalur apa? Hanya mereka yang tahu....
Atau mungkin anda sudah tahu? Hmmm.... rusak.
Ketika ejakulasi demokrasi sudah tak tertahankan, mulailah sebuah jaman reformasi dikumandangkan. Sejak itulah, rakyat yang memang seharusnya berkuasa, mulai unjuk gigi. Demonstrasi mulai bermunculan. Dari mature demonstation hingga immature demonstration. Maka setiap langkah yang berdalih "atas nama rakyat" masuk dalam koridor demokrasi dan reformasi.
Pertanyaan yang jarang disebut adalah: Rakyat sebelah mana?
Kini, therapy yang bernama reformasi sudah berjalan bertahun-tahun. Sudahkah kita sembuh? Belum. Penyakit-penyakit itu bahkan sudah parah dan mejalar ke daerah yang lain. Bagi pakar demokrasi tentu berkata, demokrasi itu butuh waktu puluhan tahun. Tapi tentu, sudahkah kita berjalan kesana? Bisa jadi.
Ada rakyat yang pintar, ada juga rakyat yang luar biasa bodoh. Rakyat bodoh ini biasanya adalah rakyat bayaran. Memang harap maklum saja, kemiskinan yang cukup tinggi dan kekayaan yang juga tinggi membuat gap antara keduanya semakin lebar. In other words, yang miskin semakin miskin yang kaya semakin kaya.
Kemiskinan adalah pangkal kebodohan. Ungkapan inilah yang kira2x pas disematkan kepada mereka. Ketika tidak punya kerja, ketika tidak ada lagi yang dikerjakan, ketika tak punya uang, ketika banyak masalah, maka orang-orang inilah yang gampang dimanfaatkan. Hanya dengan uang Rp.5.000- Rp.50.000 per orang mereka berani turun ke jalan demonstrasi (bahkan melakukan apapun) meskipun mereka tahu bahwa yang mereka bela berada di pihak yang salah. Mereka juga rakyat kan? Runyamnya, orang seperti ini banyak jumlahnya dan bisa dibeli dengan harga yang sangat murah hanya untuk memenuhi hasrat politik sang politikus.
Kalau memang hal ini terjadi di satu daerah maka itu tak masalah. Tapi akan menjadi masalah bila itu terjadi hampir di seluruh daerah yang mengadakan pesta rakyat (baca: Pilkada). Pasangan balon (bakal calon) yang berjumlah lebih dari dua biasanya memanfaatkan "rakyat bodoh" untuk menggaet dukungan sekaligus siap turun ke jalan. Bagi rakyat bodoh, tak peduli apakah yang dibelanya itu benar. Tapi yang penting bagi mereka adalah bagaimana mendapatkan uang untuk mengisi perut. Iya, mengisi perut.
Fenomena seperti ini kalau dibiarkan tentu akan menjadi ladang bisnis baru bagi "preman-preman" rakyat. Misalnya, A adalah preman. Ia punya massa berjumalah 10.000 yang setiap saat 24 jam sehari 7 hari seminggu siap turun ke jalan. Ia memasang iklan bagi setiap kandidat bagi yang ingin menyewa massanya untuk turun ke jalan. Tarif A adalah Rp.50.000 per orang. Maka andaikata si bakal calon memakai jasa "germo" ini, maka ia harus menyiapkan tarif Rp. 500.000.000 (lima ratus juta) untuk sekali turun.. Berarti sekali turun ke jalan, si germo atau preman ini punya omset 500 juta. Tapi ingat itu adalah tarif germo, kalau tarif PSKnya sendiri (baca: rakyat bodoh yang turun ke jalan) paling Rp.30.000 - Rp.40.000.. Jadi katakan untuk 10.000 orang yang demo itu 400 juta. Maka 100 juta sudah masuk kantong si germo hanya untuk sekali turun ke jalan. Bisnis yang menggiurkan? Oohhh tentu saja....
Kalau dibiarkan, bukan mustahil justru rakyat sendiri yang akan musnah. Rakyat yang menuntut demokrasi yang fair, tapi rakyat sendirilah yang merusak tatanan yang ada. Kalau dipikir memang runyam. Ketika dulu PILKADA biasa, balon (bakal calon) hanya butuh menyuap anggota DPR/DPRD. Sehingga yang kaya adalah wakil rakyat. Ketika PILKADAL (pemilihan langsung) diserukan, uang suap beralih dari wakil rakyat langsung kepada rakyat yang berarti rakyat yang dapet uang. Rapuhnya mental rakyat bodoh, ia mudah diadu domba oleh bosnya. Sehingga demi mendapat beberapa puluh ribu rupiah, ia berani melakukan apa saja.
Cukup banyak fenomena seperti ini di tanah air. Tapi yang harus diketahui oleh rakyat cerdas adalah tak semua demonstrasi itu benar. Hampir semua demonstrasi adalah bayaran. Mungkin demonstrasi murni dari hati adalah demonstrasi mahasiswa. Karena idealisme yang tinggi adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda.
Tak habis pikir dengan rakyat. Kadang mereka yang menuntut, tapi mereka sendiri yang terlalu over-acting. Andaikata rakyat tidak mau dibayar, susah bagi bakal calon untuk menyuap. Tapi sayangnya, rakyat bodoh mau dibayar untuk melakukan apa saja. Dan yang untung adalah yang membayar. Ketika ia (yang membayar rakyat bodoh) terpilih menjadi kepala daerah berkat rakyat bodoh yang memilih dan mendukung, ia sudah kehabisan modal, dan sekarang adalah saat yang tepat untuk mengembalikan modal yang telah dibayarkan waktu pemilihan yang berjumlah milliaran itu selama 5 tahun ke depan. Lewat jalur apa? Hanya mereka yang tahu....
Atau mungkin anda sudah tahu? Hmmm.... rusak.