Thursday, August 25, 2005
Siap Menjadi Tukang Sapu
Kemarin, sekarang dan masa yang akan datang sudah barang tentu berbeda. Boleh dibilang sangat berbeda. Dalam hal edukasi, fase hidup manusia jaman sekarang kebanyakan sama. Dimulai dengan TK, SD, SMP, SMU, kuliah dan akhirnya mendapat gelar sarjana. Kalau dia beruntung, dia bisa melanjutkan ke jenjang pasca sarjana. Hampir semuanya begitu. Kalau dulu, mungkin lulus SMU adalah sebuah hal yang luar biasa. Sehingga lulus sarjana, menjadi hal yang prestisius.
Tapi rumusan itu beda dengan sekarang. Seorang sarjana ala "si doel" bukan jaminan untuk hidup layak. Sarjana sudah menjadi kacang, banyak namun murah. Sudah bermiliaran orang di dunia ini sudah menjadi sarjana. Sehingga tak heran, banyak sarjana yang menganggur.
Dulu, ayah saya pernah berpesan bahwa hidup itu penuh kebingungan. Sebelum sekolah,orang bingung mencari sekolah. Waktu sekolah, orang bingung sekolah karena sekolah itu ternyata susah. Setelah wisuda lulus sarjana, orang juga bingung cari kerja atau mungkin cari sekolah lagi. Begitu seterusnya dia bingung sampai akhirnya banyak yang tidak mendapat jatah kerja. Sehingga banyak pengangguran.
Bagaimana solusinya?
Salah satu saran saya adalah bersiaplah menjadi tukang sapu. Beberapa tahun kedepan, seorang tukang sapu bisa jadi adalah lulusan universitas terkemuka. Sehingga mungkin di daftar karyawan perusahaan pada bagian kebersihan tertulis nama Jojon Surojon, S.Si misalnya. Dan mungkin saran saya, pada tiap jurusan hendaknya disisipkan satu mata kuliah khusus tentang menyapu yang baik.
Mungkin setelah membaca diatas anda berpikir itu adalah hal yang konyol. Bagi saya itu bukan konyol, tapi memang tak ada salahnya menyiapkan diri kita sebagai tukang sapu. That's life, mate! Semua bisa terjadi. Tetapi yang harus kita pikirkan kelak, kita harus menjadi tukang sapu yang intelek atau intellectual sweeper.
Tukang sapu lulusan SD, ia hanya menyapu sesuai dengan keinginan hatinya. Menyapu asal-asalan dengan tujuan agar apa yang disapu menjadi bersih.
Dengan tujuan yang sama, tukang sapu lulusan SMP juga menyapu. Bedanya, karena ia telah diajari arah angin dan arah mata angin, maka ketika angin mengarah dari barat ke timur, ia mengikuti arahnya dan juga menyapu dari barat ke timur. Tentunya hal ini memudahkan pekerjaannya.
Tukang sapu lulusan SMU beda lagi. Karena waktu di SMU sudah diajari ekonomi, maka yang ada diotaknya hanyalah efisiensi. Ia tahu arah angin sehingga ia menyapu sesuai dengan arah angin. Tetapi, ketika ia menyapu, ia melihat tangan kirinya menganggur karena ia menggunakan tangan kanan untuk menyapu. Agar efisien, ia menggunakan kedua tangannya untuk menyapu seraya mengikuti arah angin.
Tukang sapu lulusan sarjana adalah yang paling cerdas. Ketika lulusan yang lain menyapu menggunakan sapu manual dan tradisional, maka dia cukup menggunakan vacuum cleaner atau penyedot debu. Lebih cepat, efisien, menggunakan teknologi dan tidak terlalu capek.
Mungkin begitulah kelak gambaran sarjana. Saya, kita, anda dan semua juga harus siap menjadi tukang sapu karena sarjana bukanlah hal yang patut dibanggakan lagi. Justru menyiapkan diri kita menjadi tukang sapu adalah hal yang membanggakan.
Mengapa? Karena tukang sapu juga manusia. Atau mungkin karena, tukang sapu juga sarjana...
Tapi rumusan itu beda dengan sekarang. Seorang sarjana ala "si doel" bukan jaminan untuk hidup layak. Sarjana sudah menjadi kacang, banyak namun murah. Sudah bermiliaran orang di dunia ini sudah menjadi sarjana. Sehingga tak heran, banyak sarjana yang menganggur.
Dulu, ayah saya pernah berpesan bahwa hidup itu penuh kebingungan. Sebelum sekolah,orang bingung mencari sekolah. Waktu sekolah, orang bingung sekolah karena sekolah itu ternyata susah. Setelah wisuda lulus sarjana, orang juga bingung cari kerja atau mungkin cari sekolah lagi. Begitu seterusnya dia bingung sampai akhirnya banyak yang tidak mendapat jatah kerja. Sehingga banyak pengangguran.
Bagaimana solusinya?
Salah satu saran saya adalah bersiaplah menjadi tukang sapu. Beberapa tahun kedepan, seorang tukang sapu bisa jadi adalah lulusan universitas terkemuka. Sehingga mungkin di daftar karyawan perusahaan pada bagian kebersihan tertulis nama Jojon Surojon, S.Si misalnya. Dan mungkin saran saya, pada tiap jurusan hendaknya disisipkan satu mata kuliah khusus tentang menyapu yang baik.
Mungkin setelah membaca diatas anda berpikir itu adalah hal yang konyol. Bagi saya itu bukan konyol, tapi memang tak ada salahnya menyiapkan diri kita sebagai tukang sapu. That's life, mate! Semua bisa terjadi. Tetapi yang harus kita pikirkan kelak, kita harus menjadi tukang sapu yang intelek atau intellectual sweeper.
Tukang sapu lulusan SD, ia hanya menyapu sesuai dengan keinginan hatinya. Menyapu asal-asalan dengan tujuan agar apa yang disapu menjadi bersih.
Dengan tujuan yang sama, tukang sapu lulusan SMP juga menyapu. Bedanya, karena ia telah diajari arah angin dan arah mata angin, maka ketika angin mengarah dari barat ke timur, ia mengikuti arahnya dan juga menyapu dari barat ke timur. Tentunya hal ini memudahkan pekerjaannya.
Tukang sapu lulusan SMU beda lagi. Karena waktu di SMU sudah diajari ekonomi, maka yang ada diotaknya hanyalah efisiensi. Ia tahu arah angin sehingga ia menyapu sesuai dengan arah angin. Tetapi, ketika ia menyapu, ia melihat tangan kirinya menganggur karena ia menggunakan tangan kanan untuk menyapu. Agar efisien, ia menggunakan kedua tangannya untuk menyapu seraya mengikuti arah angin.
Tukang sapu lulusan sarjana adalah yang paling cerdas. Ketika lulusan yang lain menyapu menggunakan sapu manual dan tradisional, maka dia cukup menggunakan vacuum cleaner atau penyedot debu. Lebih cepat, efisien, menggunakan teknologi dan tidak terlalu capek.
Mungkin begitulah kelak gambaran sarjana. Saya, kita, anda dan semua juga harus siap menjadi tukang sapu karena sarjana bukanlah hal yang patut dibanggakan lagi. Justru menyiapkan diri kita menjadi tukang sapu adalah hal yang membanggakan.
Mengapa? Karena tukang sapu juga manusia. Atau mungkin karena, tukang sapu juga sarjana...
ps. Mohon doanya untuk kesembuhan Cak Nur (Nurcholis Madjid)