Wednesday, September 14, 2005
Definisi yang Berakal
Salah satu hal yang Saya kurang suka dengan wikipedia atau kebanyakan ensiklopedia dan kamus adalah ia selalu memberikan definisi dalam satu atau dua kalimat. Sehingga satu atau dua kalimat tersebut seolah-olah menjadi sebuah holy definition yang mana definisi yang lain bisa jadi salah.
Definisi-definisi sebuah kata maupun sebuah kejadian dalam setiap apa yang kita pikirkan tentu saja tak bisa didefinisikan secara harfiyah dan 100% benar. Tapi itulah kadang yang saya alami ketika duduk di bangku sekolah. Walhasil, terkadang definisi membuat pikiran kita cupet dan sempit. Tak ada ruang gerak ekstra bagi saraf-saraf di otak untuk berpikir tentang suatu hal. Karena sang guru sudah memberikan definisi. Apalagi definisi itu sudah diberi awalan"Pokoknya".
Dulu Rasul SAW jarang sekali memberikan definisi. Ketika Beliau ditanya oleh sahabat tentang suatu hal, ia tidak serta merta menjawab pertanyaan tersebut dengan definisi yang letter leg.
Contonya ketika Rasul memberikan pelajaran tentang tawakkal. Alkisah ada seorang sahabat yang datang untuk menunaikan sholat wajib di sebuah masjid. Ia datang dengan untanya dan setelah sampai di depan masjid ia membiarkan unta itu sendirian tanpa mengikatnya dengan sebuah tali sekalipun.
Rasul yang melihat hal itu langsung memainkan "kepedulian sosial"nya. Dia bertanya, "hai sahabat, mengapa engkau tidak mengikat unta itu?". Sahabat itu pun berargumen, "ah sudahlah wahai Rasul, tenang saja. Saya meniggalkan unta itu dengan perasaan tawakkal. Sehingga apapun yang terjadi maka itulah kehendak Allah SWT".
Rasul pun menimpali. "hai sahabat, bukan begitu maksud dari tawakkal. Sekarang kamu ikatlah unta kamu dahulu dengan sekuat-kuatnya, kemudian kamu tinggal sholat untamu seraya kamu yakin bahwa Allah akan melindungi kamu dan Dialah pemberi keputusan yang terbaik". Sahabatpun mengiyakannya. Dalam hatinya ia berpikir kembali tentang arti tawakkal.
Proses berpikir kembalinya seorang sahabat itulah sebetulnya proses terpenting dari sebuah pendidikan. Sehingga belajar mengajar bukan hanya selesai ketika guru selesai menerangkan sesuatu tetapi ia berakhir ketika kita tak bisa berpikir lagi.
Dulu ketika masih sekolah, tawakkal oleh guru saya sering didefinisikan sebagai sebuah bentuk kepasrahan kepada Tuhan [titik]. Padahal, kalau saya membaca "definisi" tawakkal Rasul diatas, tawakkal adalah sebuah perasaan yakin dan pasrah kepada Tuhan setelah kita berusaha dengan sekuat tenaga yang kita miliki. Mungkin, apa yang saya tangkap dari cerita tersebut berbeda dengan apa yang anda tangkap. Tetapi itu bukan berarti salah.
Dan sekarang pun, ketika saya kuliah disini terutama di Division of Humanities, sangat jarang sekali ada definisi yang terungkap oleh dosen. Hampir semuanya memberikan kebebasan kepada kita untuk berpikir bahkan dengan pikiran yang menyimpang sekalipun asalkan itu mempunyai alasan yang kuat dan sesuai dengan hati nurani masing-masing maka pasti nilainya tidak akan buruk.
Dengan begitu, khazanah keilmuan menjadi luas, pikiran tidak cupet, manusia yang dilahirkan tidak fanatis terhadap sebuah keyakinan, toleransi akan keberagaman pikiran dan jalan pikir menjadikan hati kita luas dan lapang, dan yang pasti memberikan kesempatan kepada setiap ciptaan Tuhan untuk berpikir seraya menghargai apa yang bernama akal.
Definisi-definisi sebuah kata maupun sebuah kejadian dalam setiap apa yang kita pikirkan tentu saja tak bisa didefinisikan secara harfiyah dan 100% benar. Tapi itulah kadang yang saya alami ketika duduk di bangku sekolah. Walhasil, terkadang definisi membuat pikiran kita cupet dan sempit. Tak ada ruang gerak ekstra bagi saraf-saraf di otak untuk berpikir tentang suatu hal. Karena sang guru sudah memberikan definisi. Apalagi definisi itu sudah diberi awalan"Pokoknya".
Dulu Rasul SAW jarang sekali memberikan definisi. Ketika Beliau ditanya oleh sahabat tentang suatu hal, ia tidak serta merta menjawab pertanyaan tersebut dengan definisi yang letter leg.
Contonya ketika Rasul memberikan pelajaran tentang tawakkal. Alkisah ada seorang sahabat yang datang untuk menunaikan sholat wajib di sebuah masjid. Ia datang dengan untanya dan setelah sampai di depan masjid ia membiarkan unta itu sendirian tanpa mengikatnya dengan sebuah tali sekalipun.
Rasul yang melihat hal itu langsung memainkan "kepedulian sosial"nya. Dia bertanya, "hai sahabat, mengapa engkau tidak mengikat unta itu?". Sahabat itu pun berargumen, "ah sudahlah wahai Rasul, tenang saja. Saya meniggalkan unta itu dengan perasaan tawakkal. Sehingga apapun yang terjadi maka itulah kehendak Allah SWT".
Rasul pun menimpali. "hai sahabat, bukan begitu maksud dari tawakkal. Sekarang kamu ikatlah unta kamu dahulu dengan sekuat-kuatnya, kemudian kamu tinggal sholat untamu seraya kamu yakin bahwa Allah akan melindungi kamu dan Dialah pemberi keputusan yang terbaik". Sahabatpun mengiyakannya. Dalam hatinya ia berpikir kembali tentang arti tawakkal.
Proses berpikir kembalinya seorang sahabat itulah sebetulnya proses terpenting dari sebuah pendidikan. Sehingga belajar mengajar bukan hanya selesai ketika guru selesai menerangkan sesuatu tetapi ia berakhir ketika kita tak bisa berpikir lagi.
Dulu ketika masih sekolah, tawakkal oleh guru saya sering didefinisikan sebagai sebuah bentuk kepasrahan kepada Tuhan [titik]. Padahal, kalau saya membaca "definisi" tawakkal Rasul diatas, tawakkal adalah sebuah perasaan yakin dan pasrah kepada Tuhan setelah kita berusaha dengan sekuat tenaga yang kita miliki. Mungkin, apa yang saya tangkap dari cerita tersebut berbeda dengan apa yang anda tangkap. Tetapi itu bukan berarti salah.
Dan sekarang pun, ketika saya kuliah disini terutama di Division of Humanities, sangat jarang sekali ada definisi yang terungkap oleh dosen. Hampir semuanya memberikan kebebasan kepada kita untuk berpikir bahkan dengan pikiran yang menyimpang sekalipun asalkan itu mempunyai alasan yang kuat dan sesuai dengan hati nurani masing-masing maka pasti nilainya tidak akan buruk.
Dengan begitu, khazanah keilmuan menjadi luas, pikiran tidak cupet, manusia yang dilahirkan tidak fanatis terhadap sebuah keyakinan, toleransi akan keberagaman pikiran dan jalan pikir menjadikan hati kita luas dan lapang, dan yang pasti memberikan kesempatan kepada setiap ciptaan Tuhan untuk berpikir seraya menghargai apa yang bernama akal.