Tuesday, September 27, 2005
Persebaya, Lumpia dan Kepentingan yang lebih luas
Ketika itu Persebaya baru saja bertanding. Saya lupa dengan siapa, hanya yang saya ingat ketika itu divisi I. Layaknya setiap pertandingan berlangsung, semua mobil dan toko di sekitar stadion Gelora 10 November Tambaksari memilih untuk tutup kecuali warung-warung kecil di sekitar stadion. Namun saat itu ada satu mobil yang berani menerobos kerumunan Bonek. Mobilnya tidak tanggung2x, Jaguar seharga miliaran rupiah bernopol L 1 JP. Beraninya lagi, dia tidak dikawal oleh satu orang pun kecuali hanya supir pribadi yang sudah berumur. Dari plat nomernya pun saya sudah mengetahui siapa dia. Dia adalah Dahlan Iskan yang saat itu menjabat Ketua Umum Persebaya.
Hebatnya ketika itu, semua Bonek begitu taat kepadanya. Jadi ketika mobilnya lewat, kerumunan Bonek yang menyemut serata merta memberikan jalan bagi mobil itu. "Minggiro, rek!" atau "Rek, ke'i dalan.. minggiro.." adalah kalimat yang terdengar. Bukan hanya itu saja, ketika di dalam stadion, Persebaya kemasukan ataupun ketinggalan atau apapun yang bisa membikin Bonek marah, Dahlan selalu berada di posisi terdepan menenangkan Bonek. Walaupun dia risking dirinya sendiri terkena lemparan benda keras.
Tapi itu dulu yang dinamakan "the good old days". Setelah itu Persebaya dipimpin orang pemkot Surabaya. Anehnya, setidaknya 3 jajaran pengurus penting dihuni oleh politisi-politisi gaek PDI-P. Sebut saja nama Bambang DH, Walikota Surabaya yang terpilih kembali berangkat dengan kendaraan PDI-P saat ini menjabat Ketua Umum Persebaya. Adalagi manajer Persebaya Saleh Mukadar, anggota DPRD propinsi Jawa Timur dari PDI-P. Satu lagi adalah asisten manajer Persebaya, Wisnu Buana Sakti yang juga anak dari Sekjen DPP PDI-P Sutjipto.
Sejak itu saya lihat Persebaya banyak masalah. Umumnya adalah suporter yang tak terkendali serta anarkis dan puncaknya adalah kemarin ketika Persebaya memilih mundur dari pentas Liga Indonesia dengan berbagai alasan. Banyak reaksi dari hal ini. Ada yang senang, bangga, biasa saja. Namun disisi lain ada yang kecewa, sedih, marah dan menganggap seolah-olah mereka menjual harga diri Bonek. Saya menerima puluhan email berisi amarah tentang kondisi ini. Hingga akhirnya saya menumpahkannya ke tulisan ini. Ada yang email bahwa fenomena ini menjadi perbincangan seluruh warga kota dari pejabat hingga tukang sayur di pasar.
Klimaksnya adalah ketika Persebaya dihukum 2 tahun. Semua orang tercengang, bingung dan speechless. Sampai-sampai Persebaya harus membentuk tim sebelas agar bisa lepas dari hukuman itu disamping upaya banding. Tentunya bagi warga kota, ini menjadi sebuah "nail bitting moment" yang penuh tanda tanya.
Terlepas dari hukuman PSSI yang juga terlalu emosional, saya pribadi tidak terlalu khawatir. Pun tidak terlalu kecewa dengan keputusan 2 tahun. Walaupun saya adalah penggemar berat Persebaya sejak masih SD. Tetapi yang saya khawatirkan justru kepentingan yang lebih luas.
Disetiap pertandingan Persebaya, gejolak ekonomi meninggi di sekitar stadion. Ada penjual kaos yang berharap kasonya akan laku, ada penjual minuman yang berharap pengunjung akan beli ketika dahaga menjelang, ada penjual lumpia yang selalu berharap penonton lapar agar membeli dagangannya.
Kalau saja 2 tahun ini Persebaya tidak bertanding, harus kemanakah mereka menawarkan jajanannya? Harus kemana lagi mereka mencari "market segment" yang sepadan dengan suporter Persebaya yang selalu berjumlah diatas 10.000 orang tiap pertandingan? Harus kah mereka menunggu 2 tahun lagi?
Saya juga tak peduli dengan pengurus Persebaya. Yang saya pedulikan justru nasib pemain-pemainnya. Dan sepakat dengan kawan-kawan yang lain, Persebaya lebih bijak dipegang oleh seorang organisatoris atau seorang enterpreneur yang mengerti bola. Bukan oleh walikota yang bukan Gibol, bukan juga oleh politisi-politisi yang selalu win-win atau win-loose solution dalam mengambil keputusan ataupun bukan juga oleh orang yang mengambil kesempatan.
Semoga (alm) Cak Narto -mantan ketum Persebaya yang juga Gibol dan Pencetus nama BONEK- tidak kecewa melihat timnya mundur. Semoga juga (Alm) Bung Tomo tidak tertawa melihat sikap Persebaya yang mundur sebelum berperang.
Semoga juga Liga Indonesia menjadi lebih "sehat" dan suporter yang lebih dewasa dimasa yang akan datang. Dan semoga PSSI bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas. Amien...
Hebatnya ketika itu, semua Bonek begitu taat kepadanya. Jadi ketika mobilnya lewat, kerumunan Bonek yang menyemut serata merta memberikan jalan bagi mobil itu. "Minggiro, rek!" atau "Rek, ke'i dalan.. minggiro.." adalah kalimat yang terdengar. Bukan hanya itu saja, ketika di dalam stadion, Persebaya kemasukan ataupun ketinggalan atau apapun yang bisa membikin Bonek marah, Dahlan selalu berada di posisi terdepan menenangkan Bonek. Walaupun dia risking dirinya sendiri terkena lemparan benda keras.
Tapi itu dulu yang dinamakan "the good old days". Setelah itu Persebaya dipimpin orang pemkot Surabaya. Anehnya, setidaknya 3 jajaran pengurus penting dihuni oleh politisi-politisi gaek PDI-P. Sebut saja nama Bambang DH, Walikota Surabaya yang terpilih kembali berangkat dengan kendaraan PDI-P saat ini menjabat Ketua Umum Persebaya. Adalagi manajer Persebaya Saleh Mukadar, anggota DPRD propinsi Jawa Timur dari PDI-P. Satu lagi adalah asisten manajer Persebaya, Wisnu Buana Sakti yang juga anak dari Sekjen DPP PDI-P Sutjipto.
Sejak itu saya lihat Persebaya banyak masalah. Umumnya adalah suporter yang tak terkendali serta anarkis dan puncaknya adalah kemarin ketika Persebaya memilih mundur dari pentas Liga Indonesia dengan berbagai alasan. Banyak reaksi dari hal ini. Ada yang senang, bangga, biasa saja. Namun disisi lain ada yang kecewa, sedih, marah dan menganggap seolah-olah mereka menjual harga diri Bonek. Saya menerima puluhan email berisi amarah tentang kondisi ini. Hingga akhirnya saya menumpahkannya ke tulisan ini. Ada yang email bahwa fenomena ini menjadi perbincangan seluruh warga kota dari pejabat hingga tukang sayur di pasar.
Klimaksnya adalah ketika Persebaya dihukum 2 tahun. Semua orang tercengang, bingung dan speechless. Sampai-sampai Persebaya harus membentuk tim sebelas agar bisa lepas dari hukuman itu disamping upaya banding. Tentunya bagi warga kota, ini menjadi sebuah "nail bitting moment" yang penuh tanda tanya.
Terlepas dari hukuman PSSI yang juga terlalu emosional, saya pribadi tidak terlalu khawatir. Pun tidak terlalu kecewa dengan keputusan 2 tahun. Walaupun saya adalah penggemar berat Persebaya sejak masih SD. Tetapi yang saya khawatirkan justru kepentingan yang lebih luas.
Disetiap pertandingan Persebaya, gejolak ekonomi meninggi di sekitar stadion. Ada penjual kaos yang berharap kasonya akan laku, ada penjual minuman yang berharap pengunjung akan beli ketika dahaga menjelang, ada penjual lumpia yang selalu berharap penonton lapar agar membeli dagangannya.
Kalau saja 2 tahun ini Persebaya tidak bertanding, harus kemanakah mereka menawarkan jajanannya? Harus kemana lagi mereka mencari "market segment" yang sepadan dengan suporter Persebaya yang selalu berjumlah diatas 10.000 orang tiap pertandingan? Harus kah mereka menunggu 2 tahun lagi?
Saya juga tak peduli dengan pengurus Persebaya. Yang saya pedulikan justru nasib pemain-pemainnya. Dan sepakat dengan kawan-kawan yang lain, Persebaya lebih bijak dipegang oleh seorang organisatoris atau seorang enterpreneur yang mengerti bola. Bukan oleh walikota yang bukan Gibol, bukan juga oleh politisi-politisi yang selalu win-win atau win-loose solution dalam mengambil keputusan ataupun bukan juga oleh orang yang mengambil kesempatan.
Semoga (alm) Cak Narto -mantan ketum Persebaya yang juga Gibol dan Pencetus nama BONEK- tidak kecewa melihat timnya mundur. Semoga juga (Alm) Bung Tomo tidak tertawa melihat sikap Persebaya yang mundur sebelum berperang.
Semoga juga Liga Indonesia menjadi lebih "sehat" dan suporter yang lebih dewasa dimasa yang akan datang. Dan semoga PSSI bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas. Amien...