Monday, October 17, 2005
Orang Tua
Saya mempunyai teman baik disini. Ia adalah orang Palestina yang memilih menuntut ilmu daripada berperang. Ia lebih tua dari saya namun kuliahnya satu angkatan. Sebagai mahasiswa disini, kita bersepakat akan bekerja. Hitung-hitung uangnya masuk tabungan sebagai bekal kita "makan" dan pengalamannya menjadi sebuah cerita klasik di masa depan. Teman saya ini memilih menjadi sopir taksi.
Pada suatu hari ia mengantarkan seorang nenek yang sudah tua. Nenek itu orang asli sini. Dia menyuruh teman saya untuk mengantarnya ke rumahnya. Pada waktu sampai di rumahnya, layaknya sopir taksi di negaranya, ia menurunkan barang-barang dan koper milik nenek tersebut untuk dibawa masuk ke rumahnya.
Sesaat kemudian, nenek itu tertegun melihat teman saya. "Why did you do that?," tanyanya. Mengapa apa?
Ternyata nenek itu bingung melihat tingkah laku teman saya yang mengangkat barang-barangnya masuk ke dalam rumah. Nenek itu memuji teman saya dengan mengatakan, "you are so kind".
Teman saya heran. Kok sampai segitunya nenek itu mengatakan demikian. Ia heran dan bertanya kepada saya mengapa.
Memang begitulah orang disini. Nenek yang sudah berusia sangat lanjut pun terkadang tinggal sendiri hanya ditemani seekor anjing yang ia anggap sebagai manusia. Pernah saya dapet tugas untuk menginterview orang-orang lanjut usia. Ketika itu saya tanya, "who do you live with?". Dia menjawab, "I live with andy". "Is andy a man or woman?," lanjut saya. "No, he's a dog". Untuk menjaga agar tidak ketahuan kalau kaget maka saya menjawab, "oh thats good".
Tak heran memang kalau nenek itu tertegun kagum melihat teman saya yang membantunya tersebut. Karena mungkin ketika dia sudah lanjut usia seperti itu, tak lagi ada yang memperhatikannya dan menyayanginya. Anaknya entah kemana karena memang tak ada aturan untuk menjaga orang tuanya. Kalaupun bertemu anaknya mungkin anaknya hanya mampir sebagai tamu. Itupun hanya beberapa jam bertemu kemudian pergi lagi.
Dengan keadaan seperti itu kita seharusnya merasa beruntung. Beruntung kita masih mempunyai budaya yang jauh lebih baik. Budaya kita mengajarkan kita untuk selalu menyayangi kedua orang tua. Ada panggilan hati untuk menjaga orang tua. Bahkan dalam agama, ada kewajiban untuk mendoakannya walaupun mereka telah meninggal. Seorang anak yang melakukan itu pun mendapat ganjaran yang berlimpah. Bahkan ada yang mengatakan, ia menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
"Rabbighfirlii waliwa lidaiya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shoghiiroo..."
Sometimes we don't need to do extraordinary things, but all we need is to do ordinary things extraordinarily well....
Pada suatu hari ia mengantarkan seorang nenek yang sudah tua. Nenek itu orang asli sini. Dia menyuruh teman saya untuk mengantarnya ke rumahnya. Pada waktu sampai di rumahnya, layaknya sopir taksi di negaranya, ia menurunkan barang-barang dan koper milik nenek tersebut untuk dibawa masuk ke rumahnya.
Sesaat kemudian, nenek itu tertegun melihat teman saya. "Why did you do that?," tanyanya. Mengapa apa?
Ternyata nenek itu bingung melihat tingkah laku teman saya yang mengangkat barang-barangnya masuk ke dalam rumah. Nenek itu memuji teman saya dengan mengatakan, "you are so kind".
Teman saya heran. Kok sampai segitunya nenek itu mengatakan demikian. Ia heran dan bertanya kepada saya mengapa.
Memang begitulah orang disini. Nenek yang sudah berusia sangat lanjut pun terkadang tinggal sendiri hanya ditemani seekor anjing yang ia anggap sebagai manusia. Pernah saya dapet tugas untuk menginterview orang-orang lanjut usia. Ketika itu saya tanya, "who do you live with?". Dia menjawab, "I live with andy". "Is andy a man or woman?," lanjut saya. "No, he's a dog". Untuk menjaga agar tidak ketahuan kalau kaget maka saya menjawab, "oh thats good".
Tak heran memang kalau nenek itu tertegun kagum melihat teman saya yang membantunya tersebut. Karena mungkin ketika dia sudah lanjut usia seperti itu, tak lagi ada yang memperhatikannya dan menyayanginya. Anaknya entah kemana karena memang tak ada aturan untuk menjaga orang tuanya. Kalaupun bertemu anaknya mungkin anaknya hanya mampir sebagai tamu. Itupun hanya beberapa jam bertemu kemudian pergi lagi.
Dengan keadaan seperti itu kita seharusnya merasa beruntung. Beruntung kita masih mempunyai budaya yang jauh lebih baik. Budaya kita mengajarkan kita untuk selalu menyayangi kedua orang tua. Ada panggilan hati untuk menjaga orang tua. Bahkan dalam agama, ada kewajiban untuk mendoakannya walaupun mereka telah meninggal. Seorang anak yang melakukan itu pun mendapat ganjaran yang berlimpah. Bahkan ada yang mengatakan, ia menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
"Rabbighfirlii waliwa lidaiya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shoghiiroo..."
Sometimes we don't need to do extraordinary things, but all we need is to do ordinary things extraordinarily well....
Friday, October 07, 2005
Swapping Lives and Neighbour
Selepas dari kampus untuk berbuka puasa kemarin langsung duduk depan komputer sambil menyalakan TV. Tak sengaja menyalakan SBS, salah satu TV milik pemerintah. Sebetulnya saya suka sekali dengan SBS. Terutama untuk acara2x dokumenter, current affairs, news, dan lainnya. Film yang diputar pun bukan film Hollywood, melainkan film2x internasional dari berbagai macam negara. Fungsinya adalah mengimbangi film2x produksi Hollywood. Konon, film AADC juga pernah diputar.
Heran juga waktu melihat acaranya waktu itu. Ada adegan fashion show dengan background tulisan berbahasa Indonesia. Maka saya yakin itu acara Indonesia. Ah, ternyata acara ini adalah Swapping lives yang saya juga pernah baca di salah satu quicklinksnya om Enda.
Swapping lives adalah kisah 2 orang wanita. Satu bernama Violet (19thn, warga Australia) dan satu lagi bernama Dewi, orang Indonesia. Mereka berdua saling bertukar tempat tinggal secara bergantian. Si Violet pergi ke Jogja dan berbicara tentang realitas masyarakat. Begitupun si Dewi pergi ke Sydney untuk merasakan budaya sini yang jauh berbeda. Mereka diberi sebuah kamera video untuk mengabadikan perjalanannya dan saling berargumen bahkan mengcounter argumen satu sama lain. Dokumenternya sendiri sangat menarik. Mungkin karena saya suka banget dengan budaya and social reality.
Salah satu poin yang sempat terekam yaitu si Violet berkata kenapa kok model2x yang ada di fashion show itu memakai mini-skirt (rok mini) sedang ketika ia turun dari panggung ia pergi ke masjid dan bersembahyang, "bukankah semua itu bertentangan dengan agamanya?". Begitu ujarnya. Satu lagi ketika Violet bertanya kenapa hanya wanita belum menikah saja yang selalu dihantui agar perawan sedang laki2x tidak. Mungkin karena di bahasa inggris istilah perawan dan perjaka itu sama2x berarti virgin. Beberapa topik yang lain adalah sex before marriage, poligami yang selalu menjadi topik menarik buat orang Australia, Drugs, gay and lesbian, dan berbagai topik lainnya.
Untuk pendapat Dewi dan kawan2xnya (pas di Indonesia) saya rasa kurang menggigit dan nendang. Jawaban dan counter argumen yang dikeluarkan sangat datar (bisa baca sendiri jurnalnya). Saya pun agak kecewa. Mungkin ini adalah didikan sebagian besar masyarakat kita yang selalu nurut pada guru or ortu tanpa bertanya "kenapa?" atau selalu menerima doktrin2x tanpa melihat latar belakangnya yang lagi2x membuat kita taklid. Bahkan di acara TVnya, ada yang sempat berkata bahwa "wanita atau istri disini (indonesia) dilarang bekerja karena dilarang oleh religion (agama)". Setahu saya, tidak ada satu ayatpun dalam alQur'an yang melarang istri bekerja. Kebanyakan istri tidak bekerja adalah gesekan dari budaya kita atau bahkan di asia (sebut saja Geisha di Jepang), bukan pengaruh agama. Potret masyarakat Indonesia, terutama generasi orang tua kita dan sebelumnya, banyak yang menjadikan wanita hanya memasak di rumah, mengurus rumah dan anak2x.
Link lain yang menarik yang saya dapat malam ini ada diskusi berjudul Neighbour juga di SBS. Transkripnya bisa dilihat disini. Diskusi ini melibatkan jurnalis Australia dan orang2x ternama Indonesia macam Wimar Witoelar (yang baru saya ketahui juga adalah profesor dari Deakin University), Desi Anwar (Jurnalis senior yang saya suka sejak kecil), Yenny Wahid (Anaknya Gus Dur yang juga baru saya ketahui adalah Jurnalis Sydney Morning Herald), Alpha Ammirachman (jurnalis), Angelina Sondakh (anggota DPR, kalau tidak salah mantan putri Indonesia?), Chusnul Mar'iyah (Dosen UI), Thang Nguyen (Jurnalis), A. Syafi'i Ma'arif (mantan PP Muhammadiyah), Sadjanan Parnohadiningrat (mantan dubes Indonesia untuk Australia), Hermawan Kartajaya (Pakar Marketing), Endi Bayuni (Jurnalist The Jakarta Post), Hariman Siregar (Mantan Penasehat Presiden) dan lain sebagainya. Diskusi ini membahas bagaimana stereotype2x masyarakat Australia terhadap orang Indonesia dan hubungan pertetanggaan.
Beberapa poin, mereka berpendapat bahwa orang Australia cenderung rasist dan arogan, mempunyai stereotype2x yang jelek terhadap kita dan yang lainnya. Wimar dan Desi pun sepakat. Hermawan Kartajaya bahkan juga membuat postingan di blognya. Bahkan hampir di akhir diskusi Hariman Siregar dengan tegas mengatakan "Kalian (Australia) butuh Soeharto. Dulu kalian begitu sopan kepada kami waktu itu. Sayang kami belum punya Soeharto lagi". Memang tak salah apa yang diucapkannya. Ada perbedaan rasa ketika dulu saya tinggal disini 14 tahun lalu dengan sekarang.
Hmm dua link yang worth untuk dibaca. Terutama yang "Neighbour" sangat recommended. Very interesting and you can feel how I feel especially after the Bali bomb II. Terrible.
Heran juga waktu melihat acaranya waktu itu. Ada adegan fashion show dengan background tulisan berbahasa Indonesia. Maka saya yakin itu acara Indonesia. Ah, ternyata acara ini adalah Swapping lives yang saya juga pernah baca di salah satu quicklinksnya om Enda.
Swapping lives adalah kisah 2 orang wanita. Satu bernama Violet (19thn, warga Australia) dan satu lagi bernama Dewi, orang Indonesia. Mereka berdua saling bertukar tempat tinggal secara bergantian. Si Violet pergi ke Jogja dan berbicara tentang realitas masyarakat. Begitupun si Dewi pergi ke Sydney untuk merasakan budaya sini yang jauh berbeda. Mereka diberi sebuah kamera video untuk mengabadikan perjalanannya dan saling berargumen bahkan mengcounter argumen satu sama lain. Dokumenternya sendiri sangat menarik. Mungkin karena saya suka banget dengan budaya and social reality.
Salah satu poin yang sempat terekam yaitu si Violet berkata kenapa kok model2x yang ada di fashion show itu memakai mini-skirt (rok mini) sedang ketika ia turun dari panggung ia pergi ke masjid dan bersembahyang, "bukankah semua itu bertentangan dengan agamanya?". Begitu ujarnya. Satu lagi ketika Violet bertanya kenapa hanya wanita belum menikah saja yang selalu dihantui agar perawan sedang laki2x tidak. Mungkin karena di bahasa inggris istilah perawan dan perjaka itu sama2x berarti virgin. Beberapa topik yang lain adalah sex before marriage, poligami yang selalu menjadi topik menarik buat orang Australia, Drugs, gay and lesbian, dan berbagai topik lainnya.
Untuk pendapat Dewi dan kawan2xnya (pas di Indonesia) saya rasa kurang menggigit dan nendang. Jawaban dan counter argumen yang dikeluarkan sangat datar (bisa baca sendiri jurnalnya). Saya pun agak kecewa. Mungkin ini adalah didikan sebagian besar masyarakat kita yang selalu nurut pada guru or ortu tanpa bertanya "kenapa?" atau selalu menerima doktrin2x tanpa melihat latar belakangnya yang lagi2x membuat kita taklid. Bahkan di acara TVnya, ada yang sempat berkata bahwa "wanita atau istri disini (indonesia) dilarang bekerja karena dilarang oleh religion (agama)". Setahu saya, tidak ada satu ayatpun dalam alQur'an yang melarang istri bekerja. Kebanyakan istri tidak bekerja adalah gesekan dari budaya kita atau bahkan di asia (sebut saja Geisha di Jepang), bukan pengaruh agama. Potret masyarakat Indonesia, terutama generasi orang tua kita dan sebelumnya, banyak yang menjadikan wanita hanya memasak di rumah, mengurus rumah dan anak2x.
Link lain yang menarik yang saya dapat malam ini ada diskusi berjudul Neighbour juga di SBS. Transkripnya bisa dilihat disini. Diskusi ini melibatkan jurnalis Australia dan orang2x ternama Indonesia macam Wimar Witoelar (yang baru saya ketahui juga adalah profesor dari Deakin University), Desi Anwar (Jurnalis senior yang saya suka sejak kecil), Yenny Wahid (Anaknya Gus Dur yang juga baru saya ketahui adalah Jurnalis Sydney Morning Herald), Alpha Ammirachman (jurnalis), Angelina Sondakh (anggota DPR, kalau tidak salah mantan putri Indonesia?), Chusnul Mar'iyah (Dosen UI), Thang Nguyen (Jurnalis), A. Syafi'i Ma'arif (mantan PP Muhammadiyah), Sadjanan Parnohadiningrat (mantan dubes Indonesia untuk Australia), Hermawan Kartajaya (Pakar Marketing), Endi Bayuni (Jurnalist The Jakarta Post), Hariman Siregar (Mantan Penasehat Presiden) dan lain sebagainya. Diskusi ini membahas bagaimana stereotype2x masyarakat Australia terhadap orang Indonesia dan hubungan pertetanggaan.
Beberapa poin, mereka berpendapat bahwa orang Australia cenderung rasist dan arogan, mempunyai stereotype2x yang jelek terhadap kita dan yang lainnya. Wimar dan Desi pun sepakat. Hermawan Kartajaya bahkan juga membuat postingan di blognya. Bahkan hampir di akhir diskusi Hariman Siregar dengan tegas mengatakan "Kalian (Australia) butuh Soeharto. Dulu kalian begitu sopan kepada kami waktu itu. Sayang kami belum punya Soeharto lagi". Memang tak salah apa yang diucapkannya. Ada perbedaan rasa ketika dulu saya tinggal disini 14 tahun lalu dengan sekarang.
Hmm dua link yang worth untuk dibaca. Terutama yang "Neighbour" sangat recommended. Very interesting and you can feel how I feel especially after the Bali bomb II. Terrible.