Tuesday, February 28, 2006
Nama
Jangan tanya apa agamaku
bukan Yahudi
bukan Zoroaster
bukan pula Islam
Karena aku tahu
begitu suatu nama kusebut
begitu Anda memberikan arti yang
lain daripada makna yang hidup di hatiku
--Jalaluddin Rumi
Malam itu hari Jumat. Saya hendak menuju ke Melbourne untuk suatu keperluan. Perth - Melbourne, kira2x ditempuh selama 4 jam pesawat. Cukup melelahkan.
Saya memilih naik taksi ketika menuju bandar domestik. Lebih fleksibel, tidak merepotkan teman dan kalau sopirnya enak, kita bisa ngobrol enak. Kebetulan malam itu sopirnya enak untuk diajak omong. Seorang imigran dari Iran, yang sudah menjadi WN Australia selama 15 tahun.
Bukan menjadi keheranan saya ada banyak imigran di Australia. Australia, bagaimanapun juga, adalah salah negara ternyaman di dunia atau one of the most livable countries. Jangankan orang Iran, orang Indonesia sendiri banyak yang sudah menjadi PR maupun warga negara. Sehingga kalau orang kuliah seperti saya, terkadang bimbang, apakah saya harus hidup 'susah' di Indonesia atau hidup 'nyaman' di Australia? Pertanyaan ini akan selalu muncul di benak kita.
Sopir taksi itu pergi dari Iran karena merasa tak cocok dengan negara itu. Bentuknya Islam Republik, namun pemerintahan tetap otoriter. Dalam keadaan terhimpit, ia dan keluarganya (seorang istri dan 2 orang anak) memilih hengkang dari Iran menuju Australia. Selama 15 tahun, ia merasa senang tinggal di Australia. Segalanya bebas dan demokratis. Ini juga saya tak heran.
Iseng, saya bertanya tentang agamanya. Dia terdiam. Lalu menjawab, "I'm not a moslem coz I don't pray five times a day. Neither a Christian coz I don't go to church. Not also Hindu coz I don't go to temples. But I believe in God. And that makes my faith".
Giliran saya yang terdiam. Dalam pikiran saya terngiang bait syair Jalaluddin Rumi. Saya kadang berpikir bahwa manusia yang percaya akan Tuhan pada dasarnya menyembah "Tuhan". Tuhannya satu dan esa, namun hanya namanya yang berbeda. Dengan cara masing-masing kita mempercayai adanya Tuhan yang esa. Bukankah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghu Chu, Shinto beserta Tuhan2xnya hanyalah sebuah nama. Namun kita semua mengakui kedahsyatan dan kekuatan Tuhan. (maaf kalau pikiran saya terlalu 'liar')
Nama, simbol, dalam semiotika banyak dipengaruhi oleh adat dan budaya. Begitu juga dengan agama. Siapa yang menyuruh masjid mempunyai kubah berbentuk bulat setengah bola? Tidak ada. Tetapi itu adalah budaya masyarakat arab, tempat Islam banyak berinteraksi.
Benci. Begitu benci saya apabila ada perang atau perbuatan yang dikaitkan dengan agama. Mengapa agama dijadikan kambing hitam? Sebegitu yakinnya mereka mendapatkan surga apabila mengatasnamakan agama. Seolah-olah mereka mendapat tugas sah menjadi penyambung lidah Tuhan.
Masih benci. Begitu benci apabila agama dijadikan alat kekuasaan. Pemerintahan yang otoriter yang berujung pada korupsi, pemasungan hak manusia dan ketidak setaraan peran gender dan anak kecil. Anehnya, ini terjadi pada cara negara yang mayoritas agama saya.
Tetapi toh saya tetap yakin, bahwa itu adalah pengaruh manusia yang mempunyai sifat ngeyel. Ngeyel adalah cara unutk menunjukkan eksistensi sebagai manusia. Bukankah kita boleh saja ngeyel pada Tuhan? Saya jadi ingat ucapan KH Ahmad Dahlan, "Kesalahan manusia adalah menilai dari bawah. Seharusnya manusia menilai sesuatu dari mata airnya diatas yang masih jernih."
Ketika NAMA menjadi penting, maka Kesalahan besar Ulil Absar-Abdalla dkk adalah menggunakan NAMA liberal. Pemikirannya mirip Fazlur Rahman ataupun Muhammad Iqbal atau kalau di Indonesia, Ahmad Wachib. Bedanya, Fazlur Rahman diusir dari Pakistan sedang Ulil dihalalkan darahnya oleh juru bicara sah Tuhan, ulama. Padahal, ketika Al-Ghazali mengkritisi filsafat di dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, Ibnu Rushd bukan membalas dengan menghalalkan darah, namun ia menulis Tahafut al-Tahafut sebagai "penyeimbang ban kiri-kanan becak" (meminjam istilah cak Nur). Contoh ulama terdahulu adalah buku dibalas buku, tetapi sekarang buku, ucapan, pikiran dibalas dengan halal darahnya.
Sedangkan orang berpikiran 'mirip' Ulil yang tidak atas NAMA liberal tidak dihujat, dimaki atau sengeri dihalalkan darahnya. Justru mereka adalah teladan dan guru bangsa Indonesia yang jauh dari korupsi dan pemasungan hak manusia. Beberapa diantara mereka adalah "tiga pendekar dari Chicago" yakni Nurcholis Madjid, M Amien Rais, dan "Buya" A Syafi'i Maarif. Mereka berpikiran progresif, toleran, plural, tidak konservatif, tetapi tidak menggunakan kata liberal. Padahal mereka adalah murid langsung Fazlur Rahman.
Sesampai di bandara, saya langsung check-in. Saya ditanya nama saya untuk bisa mengambil boarding pass yang memang hanya menyebutkan nama dan menyerahkan ID foto. "My last name is Rahim".
Orang disebelah saya bertanya kepada orang yang melayani saya "What's his name again?". "Rahim," ujarnya. "Wow, that scares (manakutkan) me," pungkasnya.
Saya berpura-pura tak mendengar. saya berdoa agar diberi kesabaran. Saya juga harus menghargai interpretasi orang atas nama pemberian orang tua saya. Namun, these days, saya juga meyakini:
Jangan tanya apa NAMAKU
bukan MUHAMMAD
bukan RAHIM
bukan pula MICHAEL JACKSON
Karena aku tahu
begitu suatu nama kusebut
begitu Anda memberikan arti yang
lain daripada makna yang hidup di hatiku
Dan orang harus menghargai keyakinan saya itu.
bukan Yahudi
bukan Zoroaster
bukan pula Islam
Karena aku tahu
begitu suatu nama kusebut
begitu Anda memberikan arti yang
lain daripada makna yang hidup di hatiku
--Jalaluddin Rumi
Malam itu hari Jumat. Saya hendak menuju ke Melbourne untuk suatu keperluan. Perth - Melbourne, kira2x ditempuh selama 4 jam pesawat. Cukup melelahkan.
Saya memilih naik taksi ketika menuju bandar domestik. Lebih fleksibel, tidak merepotkan teman dan kalau sopirnya enak, kita bisa ngobrol enak. Kebetulan malam itu sopirnya enak untuk diajak omong. Seorang imigran dari Iran, yang sudah menjadi WN Australia selama 15 tahun.
Bukan menjadi keheranan saya ada banyak imigran di Australia. Australia, bagaimanapun juga, adalah salah negara ternyaman di dunia atau one of the most livable countries. Jangankan orang Iran, orang Indonesia sendiri banyak yang sudah menjadi PR maupun warga negara. Sehingga kalau orang kuliah seperti saya, terkadang bimbang, apakah saya harus hidup 'susah' di Indonesia atau hidup 'nyaman' di Australia? Pertanyaan ini akan selalu muncul di benak kita.
Sopir taksi itu pergi dari Iran karena merasa tak cocok dengan negara itu. Bentuknya Islam Republik, namun pemerintahan tetap otoriter. Dalam keadaan terhimpit, ia dan keluarganya (seorang istri dan 2 orang anak) memilih hengkang dari Iran menuju Australia. Selama 15 tahun, ia merasa senang tinggal di Australia. Segalanya bebas dan demokratis. Ini juga saya tak heran.
Iseng, saya bertanya tentang agamanya. Dia terdiam. Lalu menjawab, "I'm not a moslem coz I don't pray five times a day. Neither a Christian coz I don't go to church. Not also Hindu coz I don't go to temples. But I believe in God. And that makes my faith".
Giliran saya yang terdiam. Dalam pikiran saya terngiang bait syair Jalaluddin Rumi. Saya kadang berpikir bahwa manusia yang percaya akan Tuhan pada dasarnya menyembah "Tuhan". Tuhannya satu dan esa, namun hanya namanya yang berbeda. Dengan cara masing-masing kita mempercayai adanya Tuhan yang esa. Bukankah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghu Chu, Shinto beserta Tuhan2xnya hanyalah sebuah nama. Namun kita semua mengakui kedahsyatan dan kekuatan Tuhan. (maaf kalau pikiran saya terlalu 'liar')
Nama, simbol, dalam semiotika banyak dipengaruhi oleh adat dan budaya. Begitu juga dengan agama. Siapa yang menyuruh masjid mempunyai kubah berbentuk bulat setengah bola? Tidak ada. Tetapi itu adalah budaya masyarakat arab, tempat Islam banyak berinteraksi.
Benci. Begitu benci saya apabila ada perang atau perbuatan yang dikaitkan dengan agama. Mengapa agama dijadikan kambing hitam? Sebegitu yakinnya mereka mendapatkan surga apabila mengatasnamakan agama. Seolah-olah mereka mendapat tugas sah menjadi penyambung lidah Tuhan.
Masih benci. Begitu benci apabila agama dijadikan alat kekuasaan. Pemerintahan yang otoriter yang berujung pada korupsi, pemasungan hak manusia dan ketidak setaraan peran gender dan anak kecil. Anehnya, ini terjadi pada cara negara yang mayoritas agama saya.
Tetapi toh saya tetap yakin, bahwa itu adalah pengaruh manusia yang mempunyai sifat ngeyel. Ngeyel adalah cara unutk menunjukkan eksistensi sebagai manusia. Bukankah kita boleh saja ngeyel pada Tuhan? Saya jadi ingat ucapan KH Ahmad Dahlan, "Kesalahan manusia adalah menilai dari bawah. Seharusnya manusia menilai sesuatu dari mata airnya diatas yang masih jernih."
Ketika NAMA menjadi penting, maka Kesalahan besar Ulil Absar-Abdalla dkk adalah menggunakan NAMA liberal. Pemikirannya mirip Fazlur Rahman ataupun Muhammad Iqbal atau kalau di Indonesia, Ahmad Wachib. Bedanya, Fazlur Rahman diusir dari Pakistan sedang Ulil dihalalkan darahnya oleh juru bicara sah Tuhan, ulama. Padahal, ketika Al-Ghazali mengkritisi filsafat di dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, Ibnu Rushd bukan membalas dengan menghalalkan darah, namun ia menulis Tahafut al-Tahafut sebagai "penyeimbang ban kiri-kanan becak" (meminjam istilah cak Nur). Contoh ulama terdahulu adalah buku dibalas buku, tetapi sekarang buku, ucapan, pikiran dibalas dengan halal darahnya.
Sedangkan orang berpikiran 'mirip' Ulil yang tidak atas NAMA liberal tidak dihujat, dimaki atau sengeri dihalalkan darahnya. Justru mereka adalah teladan dan guru bangsa Indonesia yang jauh dari korupsi dan pemasungan hak manusia. Beberapa diantara mereka adalah "tiga pendekar dari Chicago" yakni Nurcholis Madjid, M Amien Rais, dan "Buya" A Syafi'i Maarif. Mereka berpikiran progresif, toleran, plural, tidak konservatif, tetapi tidak menggunakan kata liberal. Padahal mereka adalah murid langsung Fazlur Rahman.
Sesampai di bandara, saya langsung check-in. Saya ditanya nama saya untuk bisa mengambil boarding pass yang memang hanya menyebutkan nama dan menyerahkan ID foto. "My last name is Rahim".
Orang disebelah saya bertanya kepada orang yang melayani saya "What's his name again?". "Rahim," ujarnya. "Wow, that scares (manakutkan) me," pungkasnya.
Saya berpura-pura tak mendengar. saya berdoa agar diberi kesabaran. Saya juga harus menghargai interpretasi orang atas nama pemberian orang tua saya. Namun, these days, saya juga meyakini:
Jangan tanya apa NAMAKU
bukan MUHAMMAD
bukan RAHIM
bukan pula MICHAEL JACKSON
Karena aku tahu
begitu suatu nama kusebut
begitu Anda memberikan arti yang
lain daripada makna yang hidup di hatiku
Dan orang harus menghargai keyakinan saya itu.