Tuesday, March 21, 2006
Tak Mampu Bermimpi
Apa yang tidak dimiliki orang dewasa tetapi dimiliki secara mutlak oleh anak kecil? Mimpi dan imajinasi.
Bagaimanapun juga, hanya anak laki-laki kecil yang bisa membayangkan mobil-mobilannya bisa terbang. Orang dewasa? Dia membayangkan sebuah mobil Ferrari dua pintu di garasinya. Sama-sama mobilnya. Tetapi punya anak kecil bisa terbang dan murah, sedangkan punya orang dewasa mahal namun tak bisa terbang.
Bagaimanapun juga, hanya anak perempuan kecil yang punya imajinasi memiliki rumah kecil berisikan boneka dan mainan2x kecil. Orang dewasa? Membayangkan punya rumah besar berisikan interior mewah. Sama-sama rumahnya. Tetapi rumah anak kecil itu murah dan bisa dipindah-pindah sedangkan rumah orang dewasa mahal namun tak bisa dipindah.
Bagaimanapun juga, hanya anak SD yang meminta uang jajan Rp 1000/hari yang jikalau ditotal maksimal kurang lebih Rp 30.000/bulan. Orang dewasa (baca: dewan wakil rakyat yang gila hormat)? Bercita-cita mempunyai gaji lebih dari 40 juta perbulan. Sama-sama uang. Namun punya anak kecil cukup membahagiakan dia karena bisa membeli permen seraya mengantongi uang jajannya, sedangkan orang dewasa bingung membelanjakan uangnya dan ternyata juga uangnya tak cukup di kantong.
Bagaimanapun juga, hanya anak kecil yang menabung uang agar menjadi bukit karena sudah diajari gurunya "sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit". Orang dewasa? Terobsesi mempunya bukit emas. Sama-sama bukit. Bedanya, Bukit anak kecil akan terus bertambah tinggi karena diisi uang receh, sedangkan orang dewasa mencuri bukit emas orang lain agar tak menjadi bukit untuk membangun bukitnya masing-masing di luar negri.
Bagaimanapun juga, hanya anak kecil yang bermimpi mempunyai kolam renang di rumahnya. Orang dewasa? Juga bermimpi mempunyai kolam. Sama-sama kolam. Namun punya anak kecil kolamnya berisi air jernih yang nyaman untuk mandi, sedangkan orang dewasa kolam renangnya berisi minyak bumi yang kalau api disekitarnya akan membakar dirinya sendiri.
Kurang apalagi keunggulan anak kecil? Tak ada, hanya saja tubuhnya yang kecil dan dia tidak pernah dewasa. Orang dewasa? Tubuhnya besar, ia pernah menjadi anak kecil tetapi kelakuannya tak seperti anak kecil.
Kenapa tak seperti anak kecil? Karena orang dewasa (baca: birokrat-pengusaha-politisi-wakil rakyat-orang asing yang brengsek) sudah tak punya imajinasi dan mimpi layaknya anak kecil. Mereka justru menjadi bayi yang hanya bisa menangis dan menetek pada ibunya. Tak bisa apa2x, tak punya imajinasi dan tak bisa berpikir.
Rakyat kecil menangis memikirkan "makan apa saya besok?" seraya berpikir anaknya tak mampu membangun bukit receh lagi. Rakyat besar tertawa memikirkan "makan siapa saya besok?" seraya berpikir anaknya yang tak mampu lagi membangun bukit receh karena tak punya uang receh.
Kawan, kita sudah kehilangan imajinasi. Kita kehilangan mimpi. Mimpi yang dulu pernah ditancapkan dalam hati pahlawan-pahlawan ketika melawan penjajah. Mimpi agar kita bebas dari penjajahan dalam bentuk apapun dan imajinasi agar rakyat bisa sejahtera.
Yang kami minta hanya satu, jangan sampai kehilangan mimpi itu menjadi absolut yakni ketika kita sudah tidak mampu bermimpi atau bahkan kita sudah tidak sudi untuk bermimpi lagi. Atau jangan-jangan hanya mampu mimpi basah; mimpi agar bisa dapet proyek atau duduk di jabatan yang "basah". Kalau memang begitu, selamat datang mimpi basah.
Bagaimanapun juga, hanya anak laki-laki kecil yang bisa membayangkan mobil-mobilannya bisa terbang. Orang dewasa? Dia membayangkan sebuah mobil Ferrari dua pintu di garasinya. Sama-sama mobilnya. Tetapi punya anak kecil bisa terbang dan murah, sedangkan punya orang dewasa mahal namun tak bisa terbang.
Bagaimanapun juga, hanya anak perempuan kecil yang punya imajinasi memiliki rumah kecil berisikan boneka dan mainan2x kecil. Orang dewasa? Membayangkan punya rumah besar berisikan interior mewah. Sama-sama rumahnya. Tetapi rumah anak kecil itu murah dan bisa dipindah-pindah sedangkan rumah orang dewasa mahal namun tak bisa dipindah.
Bagaimanapun juga, hanya anak SD yang meminta uang jajan Rp 1000/hari yang jikalau ditotal maksimal kurang lebih Rp 30.000/bulan. Orang dewasa (baca: dewan wakil rakyat yang gila hormat)? Bercita-cita mempunyai gaji lebih dari 40 juta perbulan. Sama-sama uang. Namun punya anak kecil cukup membahagiakan dia karena bisa membeli permen seraya mengantongi uang jajannya, sedangkan orang dewasa bingung membelanjakan uangnya dan ternyata juga uangnya tak cukup di kantong.
Bagaimanapun juga, hanya anak kecil yang menabung uang agar menjadi bukit karena sudah diajari gurunya "sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit". Orang dewasa? Terobsesi mempunya bukit emas. Sama-sama bukit. Bedanya, Bukit anak kecil akan terus bertambah tinggi karena diisi uang receh, sedangkan orang dewasa mencuri bukit emas orang lain agar tak menjadi bukit untuk membangun bukitnya masing-masing di luar negri.
Bagaimanapun juga, hanya anak kecil yang bermimpi mempunyai kolam renang di rumahnya. Orang dewasa? Juga bermimpi mempunyai kolam. Sama-sama kolam. Namun punya anak kecil kolamnya berisi air jernih yang nyaman untuk mandi, sedangkan orang dewasa kolam renangnya berisi minyak bumi yang kalau api disekitarnya akan membakar dirinya sendiri.
Kurang apalagi keunggulan anak kecil? Tak ada, hanya saja tubuhnya yang kecil dan dia tidak pernah dewasa. Orang dewasa? Tubuhnya besar, ia pernah menjadi anak kecil tetapi kelakuannya tak seperti anak kecil.
Kenapa tak seperti anak kecil? Karena orang dewasa (baca: birokrat-pengusaha-politisi-wakil rakyat-orang asing yang brengsek) sudah tak punya imajinasi dan mimpi layaknya anak kecil. Mereka justru menjadi bayi yang hanya bisa menangis dan menetek pada ibunya. Tak bisa apa2x, tak punya imajinasi dan tak bisa berpikir.
Rakyat kecil menangis memikirkan "makan apa saya besok?" seraya berpikir anaknya tak mampu membangun bukit receh lagi. Rakyat besar tertawa memikirkan "makan siapa saya besok?" seraya berpikir anaknya yang tak mampu lagi membangun bukit receh karena tak punya uang receh.
Kawan, kita sudah kehilangan imajinasi. Kita kehilangan mimpi. Mimpi yang dulu pernah ditancapkan dalam hati pahlawan-pahlawan ketika melawan penjajah. Mimpi agar kita bebas dari penjajahan dalam bentuk apapun dan imajinasi agar rakyat bisa sejahtera.
Yang kami minta hanya satu, jangan sampai kehilangan mimpi itu menjadi absolut yakni ketika kita sudah tidak mampu bermimpi atau bahkan kita sudah tidak sudi untuk bermimpi lagi. Atau jangan-jangan hanya mampu mimpi basah; mimpi agar bisa dapet proyek atau duduk di jabatan yang "basah". Kalau memang begitu, selamat datang mimpi basah.
Tuesday, March 07, 2006
Minimalis
Ketika anda membaca ini, maka saya yakin diantara anda ada yang tidak sedang menggunakan fasilitas sendiri. Dengan kata lain, anda sedang ada di kampus, sekolah ataupun kantor, numpang internet (hehehe ngaku aja ama gue juga :p).
Percaya atau tidak, dalam diri manusia, ada obsesi luar biasa besar untung meraih keuntungan tanpa modal. Bahkan dalam prinsip ekonomi, meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Ungkapan ini, secara tidak sadar, menjadi ungkapan yang tidak munafik, dan akan selalu konsisten: berpikir minimal untuk keuntungan yang maksimal. Sampai kapanpun.
Kesimpulannya, kata minimalis selalu menempel di otak kita. Misalnya, ketika orang banyak hutang, banyak yang memilih bunuh diri. Ketika lelaki dikejar pacarnya yang hamil agar tanggung jawab, maka ia memilih membunuhnya. Ini disebut sebagai upaya simplifikasi masalah yang juga termasuk kaidah minimalis. Ini adalah contoh minimalis yang gampangan dan murahan.
Di jaman sekarang, dengan tekanan hidup yang begitu hebat, maka orang banyak melakukan simplifikasi, minimalisasi, atau cari gampangnya aja. Kita, saat ini selalu diajarkan untuk ambil gampangnya. Alasannya: "hidup ini udah susah, jangan dipersusah lah" atau "hidup ini masalah, maka jangan ditambah".
Penyakit minimalis juga menjangkit designer kita. Baik itu designer web atau interior designer maupun arsitek, maka mereka akan setuju bahwa tren sekarang adalah minimalis. Entah itu adalah selera design kita manusia yang awam akan design, atau memang para pembawa misi kapitalis yang selalu berpikir akan materi, membawa kita untuk suka pada design-design minimalis. Sehingga designer atau arsitek memperoleh keuntungan, menggunakan bahan yang sedikit untuk memperoleh hasil yang yahud. Contohnya, pakaian; bahan tipis dan sedikit, kelihatan ini dan anu, harga justru mahal, namun tetap terlihat enak di mata dan elegan.
Hanya satu yang manusia tidak ingin minimalis yakni uang, materi, kekayaan. Kita bekerja sekarang adalah untuk uang. Kita numpang internet di tempat kerja adalah untuk menghemat uang. Kita kadang datang ke resepsi adalah menghemat uang makan. Kita memberi pengemis uang seratus rupiah untuk menyimpan uang miliaran rupiah lainnya di bank.
Kita semua pun berdalih: yah gimana lagi namanya juga hidup. Ya hidup, tapi bagi saya, kita dan anda semua yang hidup di jaman ini, jam ini, saat ini dan waktu ini, sangatlah susah untuk hidup minimalis walaupun kita suka sesuatu yang beraroma minimalis.
Karena kita semua, ingin hidup di rumah yang minimalis, design minimalis, pengeluaran minimalis, tetapi dengan gaya hidup yang serba maksimalis.
"The Soekarno-Hatta generation had absorbed themselves in the world of Socrates, Plato, Marx, Revaro and many more. Their minds had been flooded with dreams of Shakespeare literature, compositions by Mozart imaging a world of utopia. The New generation had different dreams: driving Lamborghinis, accompanied by Michael Jackson songs and spirits boosted by ectacy"
-- "Buya" A Syafii Maarif (Former Chairman of Muhammadiyah)
Percaya atau tidak, dalam diri manusia, ada obsesi luar biasa besar untung meraih keuntungan tanpa modal. Bahkan dalam prinsip ekonomi, meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Ungkapan ini, secara tidak sadar, menjadi ungkapan yang tidak munafik, dan akan selalu konsisten: berpikir minimal untuk keuntungan yang maksimal. Sampai kapanpun.
Kesimpulannya, kata minimalis selalu menempel di otak kita. Misalnya, ketika orang banyak hutang, banyak yang memilih bunuh diri. Ketika lelaki dikejar pacarnya yang hamil agar tanggung jawab, maka ia memilih membunuhnya. Ini disebut sebagai upaya simplifikasi masalah yang juga termasuk kaidah minimalis. Ini adalah contoh minimalis yang gampangan dan murahan.
Di jaman sekarang, dengan tekanan hidup yang begitu hebat, maka orang banyak melakukan simplifikasi, minimalisasi, atau cari gampangnya aja. Kita, saat ini selalu diajarkan untuk ambil gampangnya. Alasannya: "hidup ini udah susah, jangan dipersusah lah" atau "hidup ini masalah, maka jangan ditambah".
Penyakit minimalis juga menjangkit designer kita. Baik itu designer web atau interior designer maupun arsitek, maka mereka akan setuju bahwa tren sekarang adalah minimalis. Entah itu adalah selera design kita manusia yang awam akan design, atau memang para pembawa misi kapitalis yang selalu berpikir akan materi, membawa kita untuk suka pada design-design minimalis. Sehingga designer atau arsitek memperoleh keuntungan, menggunakan bahan yang sedikit untuk memperoleh hasil yang yahud. Contohnya, pakaian; bahan tipis dan sedikit, kelihatan ini dan anu, harga justru mahal, namun tetap terlihat enak di mata dan elegan.
Hanya satu yang manusia tidak ingin minimalis yakni uang, materi, kekayaan. Kita bekerja sekarang adalah untuk uang. Kita numpang internet di tempat kerja adalah untuk menghemat uang. Kita kadang datang ke resepsi adalah menghemat uang makan. Kita memberi pengemis uang seratus rupiah untuk menyimpan uang miliaran rupiah lainnya di bank.
Kita semua pun berdalih: yah gimana lagi namanya juga hidup. Ya hidup, tapi bagi saya, kita dan anda semua yang hidup di jaman ini, jam ini, saat ini dan waktu ini, sangatlah susah untuk hidup minimalis walaupun kita suka sesuatu yang beraroma minimalis.
Karena kita semua, ingin hidup di rumah yang minimalis, design minimalis, pengeluaran minimalis, tetapi dengan gaya hidup yang serba maksimalis.
"The Soekarno-Hatta generation had absorbed themselves in the world of Socrates, Plato, Marx, Revaro and many more. Their minds had been flooded with dreams of Shakespeare literature, compositions by Mozart imaging a world of utopia. The New generation had different dreams: driving Lamborghinis, accompanied by Michael Jackson songs and spirits boosted by ectacy"
-- "Buya" A Syafii Maarif (Former Chairman of Muhammadiyah)