Tuesday, March 07, 2006
Minimalis
Ketika anda membaca ini, maka saya yakin diantara anda ada yang tidak sedang menggunakan fasilitas sendiri. Dengan kata lain, anda sedang ada di kampus, sekolah ataupun kantor, numpang internet (hehehe ngaku aja ama gue juga :p).
Percaya atau tidak, dalam diri manusia, ada obsesi luar biasa besar untung meraih keuntungan tanpa modal. Bahkan dalam prinsip ekonomi, meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Ungkapan ini, secara tidak sadar, menjadi ungkapan yang tidak munafik, dan akan selalu konsisten: berpikir minimal untuk keuntungan yang maksimal. Sampai kapanpun.
Kesimpulannya, kata minimalis selalu menempel di otak kita. Misalnya, ketika orang banyak hutang, banyak yang memilih bunuh diri. Ketika lelaki dikejar pacarnya yang hamil agar tanggung jawab, maka ia memilih membunuhnya. Ini disebut sebagai upaya simplifikasi masalah yang juga termasuk kaidah minimalis. Ini adalah contoh minimalis yang gampangan dan murahan.
Di jaman sekarang, dengan tekanan hidup yang begitu hebat, maka orang banyak melakukan simplifikasi, minimalisasi, atau cari gampangnya aja. Kita, saat ini selalu diajarkan untuk ambil gampangnya. Alasannya: "hidup ini udah susah, jangan dipersusah lah" atau "hidup ini masalah, maka jangan ditambah".
Penyakit minimalis juga menjangkit designer kita. Baik itu designer web atau interior designer maupun arsitek, maka mereka akan setuju bahwa tren sekarang adalah minimalis. Entah itu adalah selera design kita manusia yang awam akan design, atau memang para pembawa misi kapitalis yang selalu berpikir akan materi, membawa kita untuk suka pada design-design minimalis. Sehingga designer atau arsitek memperoleh keuntungan, menggunakan bahan yang sedikit untuk memperoleh hasil yang yahud. Contohnya, pakaian; bahan tipis dan sedikit, kelihatan ini dan anu, harga justru mahal, namun tetap terlihat enak di mata dan elegan.
Hanya satu yang manusia tidak ingin minimalis yakni uang, materi, kekayaan. Kita bekerja sekarang adalah untuk uang. Kita numpang internet di tempat kerja adalah untuk menghemat uang. Kita kadang datang ke resepsi adalah menghemat uang makan. Kita memberi pengemis uang seratus rupiah untuk menyimpan uang miliaran rupiah lainnya di bank.
Kita semua pun berdalih: yah gimana lagi namanya juga hidup. Ya hidup, tapi bagi saya, kita dan anda semua yang hidup di jaman ini, jam ini, saat ini dan waktu ini, sangatlah susah untuk hidup minimalis walaupun kita suka sesuatu yang beraroma minimalis.
Karena kita semua, ingin hidup di rumah yang minimalis, design minimalis, pengeluaran minimalis, tetapi dengan gaya hidup yang serba maksimalis.
"The Soekarno-Hatta generation had absorbed themselves in the world of Socrates, Plato, Marx, Revaro and many more. Their minds had been flooded with dreams of Shakespeare literature, compositions by Mozart imaging a world of utopia. The New generation had different dreams: driving Lamborghinis, accompanied by Michael Jackson songs and spirits boosted by ectacy"
-- "Buya" A Syafii Maarif (Former Chairman of Muhammadiyah)
Percaya atau tidak, dalam diri manusia, ada obsesi luar biasa besar untung meraih keuntungan tanpa modal. Bahkan dalam prinsip ekonomi, meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Ungkapan ini, secara tidak sadar, menjadi ungkapan yang tidak munafik, dan akan selalu konsisten: berpikir minimal untuk keuntungan yang maksimal. Sampai kapanpun.
Kesimpulannya, kata minimalis selalu menempel di otak kita. Misalnya, ketika orang banyak hutang, banyak yang memilih bunuh diri. Ketika lelaki dikejar pacarnya yang hamil agar tanggung jawab, maka ia memilih membunuhnya. Ini disebut sebagai upaya simplifikasi masalah yang juga termasuk kaidah minimalis. Ini adalah contoh minimalis yang gampangan dan murahan.
Di jaman sekarang, dengan tekanan hidup yang begitu hebat, maka orang banyak melakukan simplifikasi, minimalisasi, atau cari gampangnya aja. Kita, saat ini selalu diajarkan untuk ambil gampangnya. Alasannya: "hidup ini udah susah, jangan dipersusah lah" atau "hidup ini masalah, maka jangan ditambah".
Penyakit minimalis juga menjangkit designer kita. Baik itu designer web atau interior designer maupun arsitek, maka mereka akan setuju bahwa tren sekarang adalah minimalis. Entah itu adalah selera design kita manusia yang awam akan design, atau memang para pembawa misi kapitalis yang selalu berpikir akan materi, membawa kita untuk suka pada design-design minimalis. Sehingga designer atau arsitek memperoleh keuntungan, menggunakan bahan yang sedikit untuk memperoleh hasil yang yahud. Contohnya, pakaian; bahan tipis dan sedikit, kelihatan ini dan anu, harga justru mahal, namun tetap terlihat enak di mata dan elegan.
Hanya satu yang manusia tidak ingin minimalis yakni uang, materi, kekayaan. Kita bekerja sekarang adalah untuk uang. Kita numpang internet di tempat kerja adalah untuk menghemat uang. Kita kadang datang ke resepsi adalah menghemat uang makan. Kita memberi pengemis uang seratus rupiah untuk menyimpan uang miliaran rupiah lainnya di bank.
Kita semua pun berdalih: yah gimana lagi namanya juga hidup. Ya hidup, tapi bagi saya, kita dan anda semua yang hidup di jaman ini, jam ini, saat ini dan waktu ini, sangatlah susah untuk hidup minimalis walaupun kita suka sesuatu yang beraroma minimalis.
Karena kita semua, ingin hidup di rumah yang minimalis, design minimalis, pengeluaran minimalis, tetapi dengan gaya hidup yang serba maksimalis.
"The Soekarno-Hatta generation had absorbed themselves in the world of Socrates, Plato, Marx, Revaro and many more. Their minds had been flooded with dreams of Shakespeare literature, compositions by Mozart imaging a world of utopia. The New generation had different dreams: driving Lamborghinis, accompanied by Michael Jackson songs and spirits boosted by ectacy"
-- "Buya" A Syafii Maarif (Former Chairman of Muhammadiyah)