Monday, June 12, 2006
Intelektualitas Masjid
Beberapa minggu terakhir ini Saya memilih sholat Jumat di tempat yang berbeda. Kadang di musholla kecil kampus atau kadang di masjid yang lainnya.
Yang membedakan satu dan yang lainnya adalah bentuk fisik gedungnya. Satu kecil dan yang lain masjid besar. Di kampus jamaahnya sampai meluber keluar, kalau di masjid lain masih ada tempat untuk di dalam. Perbedaan kenyamaanan saja sebetulanya.
Perbedaan yang lain terkadang Imam sholat Jumat tersebut. Yang enak terkadang gaya pembacaan dan lagu meniru Imam Masjidil Haram semacam Syudais. Tetapi ada juga yang bacaannya lebih jelek daripada Imam di kampung Saya di Indonesia. Bukan berarti Saya jago ngaji, tapi minimal ini menurut Saya yang tak paham dengan seni membaca Qur'an.
Yang menyamakan antara satu masjid dengan masjid lainnya hanyalah satu. Khutbah yang terkesan garing, basbang, monoton, bikin ngantuk dan minim akan pesan religius intelektualitasnya. Lagi, ini bukan berarti Saya jago. Tapi ini hanya pendapat Saya saja sebagai orang yang masih rada biasa aja otaknya :p
Dari satu Jumat ke Jumat yang lainnya, kita, umat yang mendengarkan, serasa dibawa flash back ke masa lalu. Bahkan pembahasannya pun terkadang tak bermutu. Contoh, perlunya takbir dalam sholat dan tinjauan menurut beberapa madzhab. Contoh lain, perlunya sholat 5 waktu beserta tata caranya. Ada lagi, yang lebih membuat saya terkadang eneg adalah topik ini haram itu haram tanpa memberikan solusi dan ujug-ujug hukumnya adalah dosa.
Bagi saya, pembahasan seperti cukup lah dilakukan di TPA dan pengajian. Khutbah Jumat adalah cermin intelektualitas umat. Khutbah Jumat seharusnya membahas persoalan umat yang lebih luas dari berbagai aspek, bertolak dari masa lalu menuju masa sekarang dan masa depan.
Menurut guru saya, dalam menafsirkan AlQur'an diperlukan kearifan lokal sesuai dengan konteks waktu dan jaman. Penafsiran Quran maupun Fiqih yang sudah dibuat beribu-ribu tahun lalu, terkadang ada yang sudah tak relevan dan harus segera dicari pemecahannya. Inilah yang seharusnya dibahas ketika khutbah Jumat.
Sebagai contoh, masih relevankah hukuman potong tangan ketika kuantitas pencurian berbeda-beda? Masih relevankah hukum potong tangan ketika mencuri tidak perlu dilakukan dengan tangan? Misalnya, dalam melakukan korupsi, bukankah seseorang hanya menyuruh ajudannya untuk mentransfer sekian miliar ke rekeningnya? Lalu apa hubungannya dengan tangan? Toh, tanpa tangan pun dia masih bisa mencuri? Lebih ekstrim lagi mungkin, masih relevankah hukum potong tangan ketika teknologi dan ilmu kesehatan memungkinkan untuk membuat tangan-tangan baru? dan lain sebagainya.
Masih banyak persoalan-persoalan lain yang lebih urgen. Contoh kalau di tanah air, bagaimana cara kita menghilangkan bantuan-bantuan dengan dalih untuk membangun masjid di jalan-jalan dan cenderung memaksa. Saya yakin masih banyak lagi.
Yang lebih penting, jawaban-jawaban dan paparan dalam khutbah bukan hanya berkutat akan 'iya' dan 'tidak' atau 'boleh' dan 'tidak boleh' bahkan 'dosa' tanpa solusi. Karena jawaban 'iya' dan 'tidak' adalah jawaban yang stagnan dan tidak merangsang umat untuk berpikir. Dan lagi, ketika seseorang mengatakan 'tidak boleh', maka sekuat tenaga ia akan berusaha mencari ustadz yang lain dengan jawaban 'boleh'. Parah lagi kalau kekerasan sudah bermain. Pedang, tongkat, batu berhamburan kemana-kemana.
Kalau khutbahnya begitu terus dan andai sholat Jumat tak wajib, mungkin saya memilih untuk tidak sholat Jumat.
Semoga masjid menjadi ujung tombak intelektualitas umat. Bukan hanya tempat mencari halal dan haramnya sesuatu tanpa solusi dan dengan emosi.
Yang membedakan satu dan yang lainnya adalah bentuk fisik gedungnya. Satu kecil dan yang lain masjid besar. Di kampus jamaahnya sampai meluber keluar, kalau di masjid lain masih ada tempat untuk di dalam. Perbedaan kenyamaanan saja sebetulanya.
Perbedaan yang lain terkadang Imam sholat Jumat tersebut. Yang enak terkadang gaya pembacaan dan lagu meniru Imam Masjidil Haram semacam Syudais. Tetapi ada juga yang bacaannya lebih jelek daripada Imam di kampung Saya di Indonesia. Bukan berarti Saya jago ngaji, tapi minimal ini menurut Saya yang tak paham dengan seni membaca Qur'an.
Yang menyamakan antara satu masjid dengan masjid lainnya hanyalah satu. Khutbah yang terkesan garing, basbang, monoton, bikin ngantuk dan minim akan pesan religius intelektualitasnya. Lagi, ini bukan berarti Saya jago. Tapi ini hanya pendapat Saya saja sebagai orang yang masih rada biasa aja otaknya :p
Dari satu Jumat ke Jumat yang lainnya, kita, umat yang mendengarkan, serasa dibawa flash back ke masa lalu. Bahkan pembahasannya pun terkadang tak bermutu. Contoh, perlunya takbir dalam sholat dan tinjauan menurut beberapa madzhab. Contoh lain, perlunya sholat 5 waktu beserta tata caranya. Ada lagi, yang lebih membuat saya terkadang eneg adalah topik ini haram itu haram tanpa memberikan solusi dan ujug-ujug hukumnya adalah dosa.
Bagi saya, pembahasan seperti cukup lah dilakukan di TPA dan pengajian. Khutbah Jumat adalah cermin intelektualitas umat. Khutbah Jumat seharusnya membahas persoalan umat yang lebih luas dari berbagai aspek, bertolak dari masa lalu menuju masa sekarang dan masa depan.
Menurut guru saya, dalam menafsirkan AlQur'an diperlukan kearifan lokal sesuai dengan konteks waktu dan jaman. Penafsiran Quran maupun Fiqih yang sudah dibuat beribu-ribu tahun lalu, terkadang ada yang sudah tak relevan dan harus segera dicari pemecahannya. Inilah yang seharusnya dibahas ketika khutbah Jumat.
Sebagai contoh, masih relevankah hukuman potong tangan ketika kuantitas pencurian berbeda-beda? Masih relevankah hukum potong tangan ketika mencuri tidak perlu dilakukan dengan tangan? Misalnya, dalam melakukan korupsi, bukankah seseorang hanya menyuruh ajudannya untuk mentransfer sekian miliar ke rekeningnya? Lalu apa hubungannya dengan tangan? Toh, tanpa tangan pun dia masih bisa mencuri? Lebih ekstrim lagi mungkin, masih relevankah hukum potong tangan ketika teknologi dan ilmu kesehatan memungkinkan untuk membuat tangan-tangan baru? dan lain sebagainya.
Masih banyak persoalan-persoalan lain yang lebih urgen. Contoh kalau di tanah air, bagaimana cara kita menghilangkan bantuan-bantuan dengan dalih untuk membangun masjid di jalan-jalan dan cenderung memaksa. Saya yakin masih banyak lagi.
Yang lebih penting, jawaban-jawaban dan paparan dalam khutbah bukan hanya berkutat akan 'iya' dan 'tidak' atau 'boleh' dan 'tidak boleh' bahkan 'dosa' tanpa solusi. Karena jawaban 'iya' dan 'tidak' adalah jawaban yang stagnan dan tidak merangsang umat untuk berpikir. Dan lagi, ketika seseorang mengatakan 'tidak boleh', maka sekuat tenaga ia akan berusaha mencari ustadz yang lain dengan jawaban 'boleh'. Parah lagi kalau kekerasan sudah bermain. Pedang, tongkat, batu berhamburan kemana-kemana.
Kalau khutbahnya begitu terus dan andai sholat Jumat tak wajib, mungkin saya memilih untuk tidak sholat Jumat.
Semoga masjid menjadi ujung tombak intelektualitas umat. Bukan hanya tempat mencari halal dan haramnya sesuatu tanpa solusi dan dengan emosi.