Tuesday, August 08, 2006
Tanyalah pada Lumpur yang Meninggi
Coba baca tulisan Tony Thamrien disini. Ya, saya juga mengalaminya.
Ketika pulang ke Surabaya, saya beberapa kali pulang kampung ke Lumajang. Acapkali pula saya mengalami hal serupa dengan Tony, delay yang cukup lama di daerah porong. Apalagi ketika jalur tol ditutup persis dengan apa yang terjadi lagi saat ini. Kita harus lewat jalur "bawah", kota porong. Ini artinya semua sepeda motor, kendaraan baik kecil maupun setingkat bus dan truk jadi satu lewat jalan yang sempit. Hasilnya, macet, bisa berjam-jam dan bikin orang frustasi.
Ketika jalan tol Surabaya-Gempol telah dibuka, sedikit ada kemajuan. Jalan agak lancar walaupun harus melambat di daerah porong. Pertama kali melewati porong di jalan tol, saya terkesima. Luar biasa memang lumpurnya. Rumah2x sudah tenggelam, bahkan pabrik2x di sekitanya yang notabene bergedung agak tinggi tinggal atapnya. Dan itu semua lumpur, bukan banjir air. Ditambah lagi dengan adanya gas2x semburan mirip wedhus gembel. Saya kalau melihatnya seperti kawah di Ciwidey yang keluar gasnya.
Bahkan jalan tol ketika sampai di Porong adalah jalan tol baru. Artinya jalan tol yang lama sudah tenggelam dan ini adalah jalan diatas jalan. Jadi jalannya lebih tinggi.
Sekali2x kalau sempat, anda harus kesana melihat sendiri. Bagaimana sih banjir lumpur itu. Kalau kita tidak melihat, mungkin kita akan mengira "yah cuma lumpur". Padahal ini adalah sebuah bencana yang cukup besar.
Herannya, mengapa pemerintah tidak berani mengatakan ini adalah bencana bahkan bencana nasional? Bahkan bencana ini lebih parah dari Gempa Jogja. Secara "shock factor", memang gempa Jogja lebih dahsyat. Tetapi secara dampak dan akibat dari bencana, Porong jauh lebih menderita. Ada beberapa alasan mengapa ini adalah sebuah bencana lebih parah dari Jogja sekalipun:
Ketika pulang ke Surabaya, saya beberapa kali pulang kampung ke Lumajang. Acapkali pula saya mengalami hal serupa dengan Tony, delay yang cukup lama di daerah porong. Apalagi ketika jalur tol ditutup persis dengan apa yang terjadi lagi saat ini. Kita harus lewat jalur "bawah", kota porong. Ini artinya semua sepeda motor, kendaraan baik kecil maupun setingkat bus dan truk jadi satu lewat jalan yang sempit. Hasilnya, macet, bisa berjam-jam dan bikin orang frustasi.
Ketika jalan tol Surabaya-Gempol telah dibuka, sedikit ada kemajuan. Jalan agak lancar walaupun harus melambat di daerah porong. Pertama kali melewati porong di jalan tol, saya terkesima. Luar biasa memang lumpurnya. Rumah2x sudah tenggelam, bahkan pabrik2x di sekitanya yang notabene bergedung agak tinggi tinggal atapnya. Dan itu semua lumpur, bukan banjir air. Ditambah lagi dengan adanya gas2x semburan mirip wedhus gembel. Saya kalau melihatnya seperti kawah di Ciwidey yang keluar gasnya.
Bahkan jalan tol ketika sampai di Porong adalah jalan tol baru. Artinya jalan tol yang lama sudah tenggelam dan ini adalah jalan diatas jalan. Jadi jalannya lebih tinggi.
Sekali2x kalau sempat, anda harus kesana melihat sendiri. Bagaimana sih banjir lumpur itu. Kalau kita tidak melihat, mungkin kita akan mengira "yah cuma lumpur". Padahal ini adalah sebuah bencana yang cukup besar.
Herannya, mengapa pemerintah tidak berani mengatakan ini adalah bencana bahkan bencana nasional? Bahkan bencana ini lebih parah dari Gempa Jogja. Secara "shock factor", memang gempa Jogja lebih dahsyat. Tetapi secara dampak dan akibat dari bencana, Porong jauh lebih menderita. Ada beberapa alasan mengapa ini adalah sebuah bencana lebih parah dari Jogja sekalipun:
- Banjir lumpur telah merenggut sandang, pangan, dan papan beberapa kampung di porong. Kalau gempa Jogja, sawah2x masih bisa ditanami. Tetapi di Porong? Sawah telah punah dan kita tidak tahu kapan, dan apakah masih bisa sawah itu ditanami.
- Ketika bencana lumpur terjadi, masyarakat dari beberapa kampung telah diungsikan ke pengungsian. Bagaimana susahnya hidup di pengungsian, susahnya bagi pasangan suami-istri, susahnya bagi anak kecil untuk bermain, semua penderitaan menjadi satu.
- Rencananya, mereka akan di relokasi ke tempat baru dengan harga sewa Rp 2,5 juta/tahun. Ini bukan masalah harga. Tetapi para pengungsi itu harus membanguan struktur sosial yang baru, mengganti struktur sosial mereka yang telah mereka bangun bertahun-tahun lamanya di desanya yang telah mapan. Baik itu pendidikan, kepala desa, orang yang dituakan di desa, kyai2x dan tokoh2x desa. Ingat, bahwa pengungsi ini berasal dari beberapa desa yang harus melebur jadi satu.
- Banjir lumpur telah melumpuhkan perekonomian Jatim. Distribusi barang dari pelabuhan atau dari surabaya ke daerah (atau sebaliknya) menjadi sangat lambat dan terhambat. Belum lagi pemasukan tol (Jasa Marga) yang bukan hanya berkurang, tapi sangat berkurang ketika jalur Porong ditutup.
- Bagi Lapindo, selain harus mengatasi banjir lumpur ini, mereka juga harus menyediakan makan setiap hari bagi pengungsi dan memberi mereka nafkah tiap bulan. Entah berapa uang yang telah mereka habiskan.
Saya cukup salut dengan kesabaran mereka. Entah dikasih makan apa mereka hingga bisa sabar. Yang jelas mungkin mereka tidak dikasih makan kambing yang bisa menaikkan tensi darah mereka.
Mereka memang cukup sabar. Penanggulangan yang cukup klasik dan lamban, belum lagi permainan bisnis dan politik karena ini adalah perusahaan dari grup menkokesra, Bakrie Group. Pada akhirnya pengungsi yang merupakan rakyat kecil (kawula alit) lah yang harus menderita.
Saya tak bisa membayangkan andai bencana Lapindo ini yang menjaga adalah polisi. Mungkin warga masih berani dan akan merusak semuanya. Maka dari itu yang menjaga kawasan ini adalah tentara dari Brawijaya. Sehingga warga takut untuk marah2x.
Entah sampai kapan lumpur ini akan berakhir. Kalau kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang, itu tidak pas. Karena rumput di tempat bencana telah tertimbun dengan lumpur dan tak mau lagi bergoyang.
Yang pas, tanyalah pada lumpur yang meninggi...