Monday, February 21, 2005
Luar Negeri
"Gue tinggal di Belanda"
"wuiihh asyik dong. Pasti enak deh disana... pengen deh gue"
"Gue kuliah di Canada"
"wah yang deket kutub itu ya? pasti dingin yaa disana? hebat benerr lo.. gue aja cuma kuliah di indo.."
"Aku kuliah di Amerika"
"Tooobbhhh abisss... pasti keren deh kuliahnya."
Sudah menjadi image (bukan gambar :p) masyarakat Indonesia kalau sudah menyangkut luar negeri pasti yang ada hanyalah kesan mewah, hebat, gue pengen, enak banget elo dan lain sebagainya. Benarkah semua image yang terlukis itu?
Saya orang yang berani menjawab tidak karena semua tergantung pada diri kita masing2. Memang kuliah, kerja, hidup di luar negeri adalah dambaan setiap wanita eh salah, dambaan hampir setiap insan di negeri ini. Apalagi orang Indonesia yang negaranya konon katanya (katanya lho, ya :p) semerawut, amburadul, gak karuan, tempatnya maling, miskin, sengsara, yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin, wah pokoknya banyak deh kesan negatif yang terlabel di produk bernama Indonesia. Sebagai alternatif sebuah kenyamanan, maka luar negeri adalah pilihan baik itu sekolah, kuliah, kerja, hidup dan lain sebagainya :p
Pagi ini, Saya kedatangan tamu dari indonesia seorang peneliti LIPI bernama R.Siti Zuhro. Beliau adalah doktor lulusan Curtin University of Technology di Perth. Tadi pagi pada saat kita menikmati sarapan, dia bercerita tentang atasannya, Dr.Dewi Fortuna Anwar. Suatu hari Siti Zuhro bertanya kepada Dewi Fortuna tentang dimana ia menyekolahkan anaknya. Tak disangka jawaban seoran Dewi Fortuna adalah "di Jogja". Padahal dalam benak Siti Zuhro anaknya Dewi mestinya sekolah di Ohio Uni atau Cambridge uni ataupun London uni tempat dimana ia menimba ilmu. Dewi Fortuna menjelaskan bahwa sekolah di luar negeri adalah sebuah exchange, bukan sebuah kemewahan. Banyak orang bersekolah di luar negeri padahal universitas yang didatangi adalah universitas antah berantah. Potensi yang ada sebenarnya ada pada diri kita. Dimana kita sekolah belum menentukan tingkat keberhasilan penerapan ilmu kelak. Hal ini benar-benar Saya sadari.
Di Australia sendiri, niat pelajar mahasiswa Indonesia itu bermacam. Memang, nawaitu awalnya adalah untuk belajar. Tetapi sesaat setelah tiba disini, segala kemungkinan bisa berubah. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan. Culture shock karena perbedaan budaya dan life style, tergiur untuk bekerja karena berpenghasilan dollar, terbawa arus teman, hanya having fun dan lain sebagainya. Banyak mahasiswa yang setiap harinya bekerja full time. Mestinya hanya part time. Saya biasa menyebutnya dengan part-time student and full-time worker :) Banyak juga yang tiap hari berfoya-foya, dengan mobil mewah yang dimofikasi dan dengan knalpot keras yang mengganggu banget mereka pergi ke pub-pub, cafe-cafe, dan tempat hiburan lainnya.
Lagipula, tak sedikit universitas di luar negeri yang kualitasnya kalah jauh dengan Universitas di Indonesia. Banyak juga mahasiswa yang kuliah di universitas-universitas kacangan. Kuliah hanya bermalas-malasan padahal uang yang dikeluarkan tidak sedikit. Mereka hanya mengandalkan gengsi sekolah di luar negeri sebagai sebuah prestige. Padahal, universitasnya adalah universitas yang terpinggir dan nggak laku di negara yang bersangkutan.
Lulusan luar negeri juga bukan seorang yang perfect. Jangan Anda kira dia lulusan luar negeri berarti dia bisa segalanya. Ini adalah ungkapan yang salah. Lulusan luar negeri juga sama dengan Indonesia. Yang menetukan sebuah keberhasilan adalah potensi pada diri kita sendiri sebagai pemain.
Jadi, menjadi mahasiswa Indonesia bukanlah sesuatu yang memalukan. Banggalah kepada almamater Anda. Wherever you are! Jangan berkecil hati melihat lulusan luar negeri. Karena pada dasarnya potensi yang ada itu sama. Lulusan luar negeri tak menjamin lebih baik. Malah sebaliknya, bisa jadi mereka lebih jelek :)
Dulupun Saya bercita-cita kuliah di Indonesia. Tapi apa daya, nasib berkata lain. I'll try to do my best and take my chance...
Where do you want to live? :)
I can't believe that God put us on this earth to be ordinary
- Lou Holtz
"wuiihh asyik dong. Pasti enak deh disana... pengen deh gue"
"Gue kuliah di Canada"
"wah yang deket kutub itu ya? pasti dingin yaa disana? hebat benerr lo.. gue aja cuma kuliah di indo.."
"Aku kuliah di Amerika"
"Tooobbhhh abisss... pasti keren deh kuliahnya."
Sudah menjadi image (bukan gambar :p) masyarakat Indonesia kalau sudah menyangkut luar negeri pasti yang ada hanyalah kesan mewah, hebat, gue pengen, enak banget elo dan lain sebagainya. Benarkah semua image yang terlukis itu?
Saya orang yang berani menjawab tidak karena semua tergantung pada diri kita masing2. Memang kuliah, kerja, hidup di luar negeri adalah dambaan setiap wanita eh salah, dambaan hampir setiap insan di negeri ini. Apalagi orang Indonesia yang negaranya konon katanya (katanya lho, ya :p) semerawut, amburadul, gak karuan, tempatnya maling, miskin, sengsara, yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin, wah pokoknya banyak deh kesan negatif yang terlabel di produk bernama Indonesia. Sebagai alternatif sebuah kenyamanan, maka luar negeri adalah pilihan baik itu sekolah, kuliah, kerja, hidup dan lain sebagainya :p
Pagi ini, Saya kedatangan tamu dari indonesia seorang peneliti LIPI bernama R.Siti Zuhro. Beliau adalah doktor lulusan Curtin University of Technology di Perth. Tadi pagi pada saat kita menikmati sarapan, dia bercerita tentang atasannya, Dr.Dewi Fortuna Anwar. Suatu hari Siti Zuhro bertanya kepada Dewi Fortuna tentang dimana ia menyekolahkan anaknya. Tak disangka jawaban seoran Dewi Fortuna adalah "di Jogja". Padahal dalam benak Siti Zuhro anaknya Dewi mestinya sekolah di Ohio Uni atau Cambridge uni ataupun London uni tempat dimana ia menimba ilmu. Dewi Fortuna menjelaskan bahwa sekolah di luar negeri adalah sebuah exchange, bukan sebuah kemewahan. Banyak orang bersekolah di luar negeri padahal universitas yang didatangi adalah universitas antah berantah. Potensi yang ada sebenarnya ada pada diri kita. Dimana kita sekolah belum menentukan tingkat keberhasilan penerapan ilmu kelak. Hal ini benar-benar Saya sadari.
Di Australia sendiri, niat pelajar mahasiswa Indonesia itu bermacam. Memang, nawaitu awalnya adalah untuk belajar. Tetapi sesaat setelah tiba disini, segala kemungkinan bisa berubah. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan. Culture shock karena perbedaan budaya dan life style, tergiur untuk bekerja karena berpenghasilan dollar, terbawa arus teman, hanya having fun dan lain sebagainya. Banyak mahasiswa yang setiap harinya bekerja full time. Mestinya hanya part time. Saya biasa menyebutnya dengan part-time student and full-time worker :) Banyak juga yang tiap hari berfoya-foya, dengan mobil mewah yang dimofikasi dan dengan knalpot keras yang mengganggu banget mereka pergi ke pub-pub, cafe-cafe, dan tempat hiburan lainnya.
Lagipula, tak sedikit universitas di luar negeri yang kualitasnya kalah jauh dengan Universitas di Indonesia. Banyak juga mahasiswa yang kuliah di universitas-universitas kacangan. Kuliah hanya bermalas-malasan padahal uang yang dikeluarkan tidak sedikit. Mereka hanya mengandalkan gengsi sekolah di luar negeri sebagai sebuah prestige. Padahal, universitasnya adalah universitas yang terpinggir dan nggak laku di negara yang bersangkutan.
Lulusan luar negeri juga bukan seorang yang perfect. Jangan Anda kira dia lulusan luar negeri berarti dia bisa segalanya. Ini adalah ungkapan yang salah. Lulusan luar negeri juga sama dengan Indonesia. Yang menetukan sebuah keberhasilan adalah potensi pada diri kita sendiri sebagai pemain.
Jadi, menjadi mahasiswa Indonesia bukanlah sesuatu yang memalukan. Banggalah kepada almamater Anda. Wherever you are! Jangan berkecil hati melihat lulusan luar negeri. Karena pada dasarnya potensi yang ada itu sama. Lulusan luar negeri tak menjamin lebih baik. Malah sebaliknya, bisa jadi mereka lebih jelek :)
Dulupun Saya bercita-cita kuliah di Indonesia. Tapi apa daya, nasib berkata lain. I'll try to do my best and take my chance...
Where do you want to live? :)
I can't believe that God put us on this earth to be ordinary
- Lou Holtz