Monday, August 29, 2005
Selamat Jalan, Cak Nur...
Setelah beberapa hari memasang status YM dengan tulisan "Please pray for Cak Nur...", bahkan di postingan sebelumnya udah meminta doa agar diberi kesembuhan, rupanya Tuhan berkehendak lain.
Innalillahi wa Inna Ilaihi Ro'jiun...
Selamat jalan cak Nurcholis Madjid... Kita kehilangan seorang pemikir modern Islam. Semoga segala kebaikan diterima disisi-Nya dan segala khilaf diampuni. Amien.
Thursday, August 25, 2005
Siap Menjadi Tukang Sapu
Kemarin, sekarang dan masa yang akan datang sudah barang tentu berbeda. Boleh dibilang sangat berbeda. Dalam hal edukasi, fase hidup manusia jaman sekarang kebanyakan sama. Dimulai dengan TK, SD, SMP, SMU, kuliah dan akhirnya mendapat gelar sarjana. Kalau dia beruntung, dia bisa melanjutkan ke jenjang pasca sarjana. Hampir semuanya begitu. Kalau dulu, mungkin lulus SMU adalah sebuah hal yang luar biasa. Sehingga lulus sarjana, menjadi hal yang prestisius.
Tapi rumusan itu beda dengan sekarang. Seorang sarjana ala "si doel" bukan jaminan untuk hidup layak. Sarjana sudah menjadi kacang, banyak namun murah. Sudah bermiliaran orang di dunia ini sudah menjadi sarjana. Sehingga tak heran, banyak sarjana yang menganggur.
Dulu, ayah saya pernah berpesan bahwa hidup itu penuh kebingungan. Sebelum sekolah,orang bingung mencari sekolah. Waktu sekolah, orang bingung sekolah karena sekolah itu ternyata susah. Setelah wisuda lulus sarjana, orang juga bingung cari kerja atau mungkin cari sekolah lagi. Begitu seterusnya dia bingung sampai akhirnya banyak yang tidak mendapat jatah kerja. Sehingga banyak pengangguran.
Bagaimana solusinya?
Salah satu saran saya adalah bersiaplah menjadi tukang sapu. Beberapa tahun kedepan, seorang tukang sapu bisa jadi adalah lulusan universitas terkemuka. Sehingga mungkin di daftar karyawan perusahaan pada bagian kebersihan tertulis nama Jojon Surojon, S.Si misalnya. Dan mungkin saran saya, pada tiap jurusan hendaknya disisipkan satu mata kuliah khusus tentang menyapu yang baik.
Mungkin setelah membaca diatas anda berpikir itu adalah hal yang konyol. Bagi saya itu bukan konyol, tapi memang tak ada salahnya menyiapkan diri kita sebagai tukang sapu. That's life, mate! Semua bisa terjadi. Tetapi yang harus kita pikirkan kelak, kita harus menjadi tukang sapu yang intelek atau intellectual sweeper.
Tukang sapu lulusan SD, ia hanya menyapu sesuai dengan keinginan hatinya. Menyapu asal-asalan dengan tujuan agar apa yang disapu menjadi bersih.
Dengan tujuan yang sama, tukang sapu lulusan SMP juga menyapu. Bedanya, karena ia telah diajari arah angin dan arah mata angin, maka ketika angin mengarah dari barat ke timur, ia mengikuti arahnya dan juga menyapu dari barat ke timur. Tentunya hal ini memudahkan pekerjaannya.
Tukang sapu lulusan SMU beda lagi. Karena waktu di SMU sudah diajari ekonomi, maka yang ada diotaknya hanyalah efisiensi. Ia tahu arah angin sehingga ia menyapu sesuai dengan arah angin. Tetapi, ketika ia menyapu, ia melihat tangan kirinya menganggur karena ia menggunakan tangan kanan untuk menyapu. Agar efisien, ia menggunakan kedua tangannya untuk menyapu seraya mengikuti arah angin.
Tukang sapu lulusan sarjana adalah yang paling cerdas. Ketika lulusan yang lain menyapu menggunakan sapu manual dan tradisional, maka dia cukup menggunakan vacuum cleaner atau penyedot debu. Lebih cepat, efisien, menggunakan teknologi dan tidak terlalu capek.
Mungkin begitulah kelak gambaran sarjana. Saya, kita, anda dan semua juga harus siap menjadi tukang sapu karena sarjana bukanlah hal yang patut dibanggakan lagi. Justru menyiapkan diri kita menjadi tukang sapu adalah hal yang membanggakan.
Mengapa? Karena tukang sapu juga manusia. Atau mungkin karena, tukang sapu juga sarjana...
Tapi rumusan itu beda dengan sekarang. Seorang sarjana ala "si doel" bukan jaminan untuk hidup layak. Sarjana sudah menjadi kacang, banyak namun murah. Sudah bermiliaran orang di dunia ini sudah menjadi sarjana. Sehingga tak heran, banyak sarjana yang menganggur.
Dulu, ayah saya pernah berpesan bahwa hidup itu penuh kebingungan. Sebelum sekolah,orang bingung mencari sekolah. Waktu sekolah, orang bingung sekolah karena sekolah itu ternyata susah. Setelah wisuda lulus sarjana, orang juga bingung cari kerja atau mungkin cari sekolah lagi. Begitu seterusnya dia bingung sampai akhirnya banyak yang tidak mendapat jatah kerja. Sehingga banyak pengangguran.
Bagaimana solusinya?
Salah satu saran saya adalah bersiaplah menjadi tukang sapu. Beberapa tahun kedepan, seorang tukang sapu bisa jadi adalah lulusan universitas terkemuka. Sehingga mungkin di daftar karyawan perusahaan pada bagian kebersihan tertulis nama Jojon Surojon, S.Si misalnya. Dan mungkin saran saya, pada tiap jurusan hendaknya disisipkan satu mata kuliah khusus tentang menyapu yang baik.
Mungkin setelah membaca diatas anda berpikir itu adalah hal yang konyol. Bagi saya itu bukan konyol, tapi memang tak ada salahnya menyiapkan diri kita sebagai tukang sapu. That's life, mate! Semua bisa terjadi. Tetapi yang harus kita pikirkan kelak, kita harus menjadi tukang sapu yang intelek atau intellectual sweeper.
Tukang sapu lulusan SD, ia hanya menyapu sesuai dengan keinginan hatinya. Menyapu asal-asalan dengan tujuan agar apa yang disapu menjadi bersih.
Dengan tujuan yang sama, tukang sapu lulusan SMP juga menyapu. Bedanya, karena ia telah diajari arah angin dan arah mata angin, maka ketika angin mengarah dari barat ke timur, ia mengikuti arahnya dan juga menyapu dari barat ke timur. Tentunya hal ini memudahkan pekerjaannya.
Tukang sapu lulusan SMU beda lagi. Karena waktu di SMU sudah diajari ekonomi, maka yang ada diotaknya hanyalah efisiensi. Ia tahu arah angin sehingga ia menyapu sesuai dengan arah angin. Tetapi, ketika ia menyapu, ia melihat tangan kirinya menganggur karena ia menggunakan tangan kanan untuk menyapu. Agar efisien, ia menggunakan kedua tangannya untuk menyapu seraya mengikuti arah angin.
Tukang sapu lulusan sarjana adalah yang paling cerdas. Ketika lulusan yang lain menyapu menggunakan sapu manual dan tradisional, maka dia cukup menggunakan vacuum cleaner atau penyedot debu. Lebih cepat, efisien, menggunakan teknologi dan tidak terlalu capek.
Mungkin begitulah kelak gambaran sarjana. Saya, kita, anda dan semua juga harus siap menjadi tukang sapu karena sarjana bukanlah hal yang patut dibanggakan lagi. Justru menyiapkan diri kita menjadi tukang sapu adalah hal yang membanggakan.
Mengapa? Karena tukang sapu juga manusia. Atau mungkin karena, tukang sapu juga sarjana...
ps. Mohon doanya untuk kesembuhan Cak Nur (Nurcholis Madjid)
Wednesday, August 17, 2005
Karena Kita Berani
Acara Big Brother 2005 Australia telah berakhir semalam yang lalu. Kalau tidak tau apa itu Big Brother (BB), BB adalah acara reality show mewah yang mirip dengan Penghuni Terakhir (Petir) Indonesia. Mengapa saya bilang mewah? Karena hadiahnya untuk tahun ini adalah sebesar AUD$836.000 atau kalau dikonversikan ke rupiah, kurang lebih 6 miliar Rupiah. Format acaranya juga sama, yaitu ada 20 orang yang belum kenal satu sama lain, dari berbagai karakter, berkumpul di BB's house, terisolasi di dalam rumah, tidak ada kontak dengan dunia luar selama 100 hari, dan selama 100 hari itu, satu per satu orang di ekstradisi keluar rumah berdasar polling sms. Yang menarik, puluhan kamera ada di rumah itu, 24 jam sehari 7 hari per minggu, full mengawasi gerak gerik semua orang di rumah itu. Pengawasnya bernama Big Brother dan kita juga melihatnya :)
Menengok kebelakang, keberadaan BB sebenarnya adalah ide atau representasi dari pemerintahan yang otoriter dimana setiap gerak diawasi dan apa kemauan penguasa harus dituruti. Kalau ada yang melanggar, hukuman siap menanti. Ada juga yang bilang bahwa BB adalah analogi tuhan dimana kita diliat setiap hari dan setiap saat. Tapi dari situlah sebenarnya format acara ini berangkat.
Sebenarnya bagi penduduk negeri kanguru, bukanlah hal yang aneh diawas oleh kamera. Surveillance, begitulah mereka memanggilnya terkadang sangat mengganggu bagi saya. Aneh aja rasanya setiap gerakan kita diawasi. Di kampus ada banyak sekali kamera surveillance. Di pertokoan, perkotaan, di bandara, di kelas, di tempat umum, di bank, di stasiun dan lain-lain. Risih aja walaupun saya kadang cuek. Tapi kalau dipikir, kebebasan kita sedikit terusik. Kadang saya bertanya ke diri saya sendiri, "negara ini terlalu berhati-hati atau memang negara penakut?".
Ingatan saya kembali ke Indonesia. Negara yang nyaman sekali dalam urusan ini. Jarang sekali ada kamera-kamera pengintai seperti itu. Semua orang bebas melakukan apa saja. Kalaupun ada kamera surveillance, itupun hanya di tempat2x yang benar2x memerlukannya. Aneh ya, negara yang katanya mengutamakan kebebasan individu tapi disisi lain ada pengawasan kamera surveillance yang sangat ketat.
Saya pernah ke bank dan seorang petugas pernah bertanya, "Is your house on insurance?". Dengan santai saya jawab, "No". Dia kaget setengah mati dan menanggapi dengan mimik aneh, "Are you serious?". "Yes I am," begitu jawab saya. Saya tak menyangka dia bisa kaget seperti itu. Tetapi yang saya tau, sebagian besar masyarakat sini ikut asuransi untuk semua propertinya. Dari rumah, isi rumah, , masa depan, mobil dan kesehatan. Maka pak Maliki, rektor Unmuh Surabaya pernah berkata "Disini maling juga dipelihara". Jadi ada interaksi timbal balik antara perusahaan asuransi, pelanggan dan maling. Saya sendiri tidak mengasuransikan barang2x saya. Saya hanya mengambil asuransi kesehatan karena tanpa asuransi kesehatan, kalau kita sakit pasti akan jauh lebih mahal bisa mencapai ribuan dolar. Akhirnya, mau tak mau saya harus gamble dengan kesehatan saya.
Bagi kita orang Indonesia, pasti sangat jarang sekali orang ikut asuransi. Selain memang untuk makan aja pas-pasan, kita dari dulu sudah berprinsip "semua itu adalah milik tuhan", "semua itu ada yang mengatur", dan "semua itu ada yang membalas" yaitu Tuhan. Barang hilang digondol maling, yah mau gimana lagi? mungkin orang itu lebih membutuhkan daripada kita.
Ada pelajaran disini yang saya dapat. Kita, orang Indonesian sejak dulu diajarkan untuk BERANI. Ada Bonekmania yang setia dan berani mati membela Persebaya, ada The Viking suporter Persib Bandung yang selalu akur dengan bonekmania, ada Aremania yang selalu berkelahi dengan bonekmania dan ada The Jakmania suporter setia Persija yang selalu berkelahi dengan The viking. Ada pasukan berani mati, dan pasukan2x pemberani yang lainnya.
Kita berani, maka dari itu kamera-kamera pengintai tidak perlu diadakan di negeri kita. Kita berani, maka dari itu jarang dari orang kita untuk ikut asuransi. Kita berani, maka dari itu kita jangan takut dengan pendektean negara asing. Kita berani, karena kita punya sumanto, kita punya robot gedhek, kita punya kolor ijo, kita punya banyak dukun, kita punya banyak tukang santet, kita punya banyak paranormal dan kita punya banyak preman di terminal yang siap membela negara apabila ada yang macem2x :)
tentu tak lupa...
Dan KITA BERANI , maka dari kita dulu melawan meriam, bom dan tembakan hanya dengan sepucuk bambu runcing. Namun nyatanya kita menang, walau dengan pengorbanan yang besar.
MERDEKA, bung!! 60 tahun kita merdeka. Negara ini sudah cukup cobaan dan masalah. Mestinya ke depan, kita lebih kuat untuk "hidup". Amien3x....
Menengok kebelakang, keberadaan BB sebenarnya adalah ide atau representasi dari pemerintahan yang otoriter dimana setiap gerak diawasi dan apa kemauan penguasa harus dituruti. Kalau ada yang melanggar, hukuman siap menanti. Ada juga yang bilang bahwa BB adalah analogi tuhan dimana kita diliat setiap hari dan setiap saat. Tapi dari situlah sebenarnya format acara ini berangkat.
Sebenarnya bagi penduduk negeri kanguru, bukanlah hal yang aneh diawas oleh kamera. Surveillance, begitulah mereka memanggilnya terkadang sangat mengganggu bagi saya. Aneh aja rasanya setiap gerakan kita diawasi. Di kampus ada banyak sekali kamera surveillance. Di pertokoan, perkotaan, di bandara, di kelas, di tempat umum, di bank, di stasiun dan lain-lain. Risih aja walaupun saya kadang cuek. Tapi kalau dipikir, kebebasan kita sedikit terusik. Kadang saya bertanya ke diri saya sendiri, "negara ini terlalu berhati-hati atau memang negara penakut?".
Ingatan saya kembali ke Indonesia. Negara yang nyaman sekali dalam urusan ini. Jarang sekali ada kamera-kamera pengintai seperti itu. Semua orang bebas melakukan apa saja. Kalaupun ada kamera surveillance, itupun hanya di tempat2x yang benar2x memerlukannya. Aneh ya, negara yang katanya mengutamakan kebebasan individu tapi disisi lain ada pengawasan kamera surveillance yang sangat ketat.
Saya pernah ke bank dan seorang petugas pernah bertanya, "Is your house on insurance?". Dengan santai saya jawab, "No". Dia kaget setengah mati dan menanggapi dengan mimik aneh, "Are you serious?". "Yes I am," begitu jawab saya. Saya tak menyangka dia bisa kaget seperti itu. Tetapi yang saya tau, sebagian besar masyarakat sini ikut asuransi untuk semua propertinya. Dari rumah, isi rumah, , masa depan, mobil dan kesehatan. Maka pak Maliki, rektor Unmuh Surabaya pernah berkata "Disini maling juga dipelihara". Jadi ada interaksi timbal balik antara perusahaan asuransi, pelanggan dan maling. Saya sendiri tidak mengasuransikan barang2x saya. Saya hanya mengambil asuransi kesehatan karena tanpa asuransi kesehatan, kalau kita sakit pasti akan jauh lebih mahal bisa mencapai ribuan dolar. Akhirnya, mau tak mau saya harus gamble dengan kesehatan saya.
Bagi kita orang Indonesia, pasti sangat jarang sekali orang ikut asuransi. Selain memang untuk makan aja pas-pasan, kita dari dulu sudah berprinsip "semua itu adalah milik tuhan", "semua itu ada yang mengatur", dan "semua itu ada yang membalas" yaitu Tuhan. Barang hilang digondol maling, yah mau gimana lagi? mungkin orang itu lebih membutuhkan daripada kita.
Ada pelajaran disini yang saya dapat. Kita, orang Indonesian sejak dulu diajarkan untuk BERANI. Ada Bonekmania yang setia dan berani mati membela Persebaya, ada The Viking suporter Persib Bandung yang selalu akur dengan bonekmania, ada Aremania yang selalu berkelahi dengan bonekmania dan ada The Jakmania suporter setia Persija yang selalu berkelahi dengan The viking. Ada pasukan berani mati, dan pasukan2x pemberani yang lainnya.
Kita berani, maka dari itu kamera-kamera pengintai tidak perlu diadakan di negeri kita. Kita berani, maka dari itu jarang dari orang kita untuk ikut asuransi. Kita berani, maka dari itu kita jangan takut dengan pendektean negara asing. Kita berani, karena kita punya sumanto, kita punya robot gedhek, kita punya kolor ijo, kita punya banyak dukun, kita punya banyak tukang santet, kita punya banyak paranormal dan kita punya banyak preman di terminal yang siap membela negara apabila ada yang macem2x :)
tentu tak lupa...
Dan KITA BERANI , maka dari kita dulu melawan meriam, bom dan tembakan hanya dengan sepucuk bambu runcing. Namun nyatanya kita menang, walau dengan pengorbanan yang besar.
MERDEKA, bung!! 60 tahun kita merdeka. Negara ini sudah cukup cobaan dan masalah. Mestinya ke depan, kita lebih kuat untuk "hidup". Amien3x....
Monday, August 08, 2005
Tatapan Kosong
Salah satu foto bidikanku yang saya suka.
Tatapan kosong. Matanya kosong. Entah apa yang ada di pikirannya...
Tapi yang jelas bagi saya dia adalah korban politik. Elit politik memberinya kaos, dia memakainya kemana-mana yang berarti kampanye gratis bagi elit. Namun disisi lain, ketika sang elit memakai jas dan naik kendaraan mewah, dia hanya naik sepeda onthel sembari TETAP SETIA dengan kaosnya...
Namun bagi sang bapak, sehelai kaos baginya selain sebagai deal politik, juga sangat berarti untuk menutupi kulitnya yang sudah tua....
Kalau kata teman saya melihat foto ini, "Selamat datang di dunia nyata, Ran...."
Wednesday, August 03, 2005
Rakyat Sebelah Mana?
Sebenarnya musuh besar demokrasi adalah rakyat bodoh. Itulah kesimpulan yang menyimpulkan berbagai pengamatan pribadi saya beberapa waktu lalu ketika pulang ke tanah air.
Ketika ejakulasi demokrasi sudah tak tertahankan, mulailah sebuah jaman reformasi dikumandangkan. Sejak itulah, rakyat yang memang seharusnya berkuasa, mulai unjuk gigi. Demonstrasi mulai bermunculan. Dari mature demonstation hingga immature demonstration. Maka setiap langkah yang berdalih "atas nama rakyat" masuk dalam koridor demokrasi dan reformasi.
Pertanyaan yang jarang disebut adalah: Rakyat sebelah mana?
Kini, therapy yang bernama reformasi sudah berjalan bertahun-tahun. Sudahkah kita sembuh? Belum. Penyakit-penyakit itu bahkan sudah parah dan mejalar ke daerah yang lain. Bagi pakar demokrasi tentu berkata, demokrasi itu butuh waktu puluhan tahun. Tapi tentu, sudahkah kita berjalan kesana? Bisa jadi.
Ada rakyat yang pintar, ada juga rakyat yang luar biasa bodoh. Rakyat bodoh ini biasanya adalah rakyat bayaran. Memang harap maklum saja, kemiskinan yang cukup tinggi dan kekayaan yang juga tinggi membuat gap antara keduanya semakin lebar. In other words, yang miskin semakin miskin yang kaya semakin kaya.
Kemiskinan adalah pangkal kebodohan. Ungkapan inilah yang kira2x pas disematkan kepada mereka. Ketika tidak punya kerja, ketika tidak ada lagi yang dikerjakan, ketika tak punya uang, ketika banyak masalah, maka orang-orang inilah yang gampang dimanfaatkan. Hanya dengan uang Rp.5.000- Rp.50.000 per orang mereka berani turun ke jalan demonstrasi (bahkan melakukan apapun) meskipun mereka tahu bahwa yang mereka bela berada di pihak yang salah. Mereka juga rakyat kan? Runyamnya, orang seperti ini banyak jumlahnya dan bisa dibeli dengan harga yang sangat murah hanya untuk memenuhi hasrat politik sang politikus.
Kalau memang hal ini terjadi di satu daerah maka itu tak masalah. Tapi akan menjadi masalah bila itu terjadi hampir di seluruh daerah yang mengadakan pesta rakyat (baca: Pilkada). Pasangan balon (bakal calon) yang berjumlah lebih dari dua biasanya memanfaatkan "rakyat bodoh" untuk menggaet dukungan sekaligus siap turun ke jalan. Bagi rakyat bodoh, tak peduli apakah yang dibelanya itu benar. Tapi yang penting bagi mereka adalah bagaimana mendapatkan uang untuk mengisi perut. Iya, mengisi perut.
Fenomena seperti ini kalau dibiarkan tentu akan menjadi ladang bisnis baru bagi "preman-preman" rakyat. Misalnya, A adalah preman. Ia punya massa berjumalah 10.000 yang setiap saat 24 jam sehari 7 hari seminggu siap turun ke jalan. Ia memasang iklan bagi setiap kandidat bagi yang ingin menyewa massanya untuk turun ke jalan. Tarif A adalah Rp.50.000 per orang. Maka andaikata si bakal calon memakai jasa "germo" ini, maka ia harus menyiapkan tarif Rp. 500.000.000 (lima ratus juta) untuk sekali turun.. Berarti sekali turun ke jalan, si germo atau preman ini punya omset 500 juta. Tapi ingat itu adalah tarif germo, kalau tarif PSKnya sendiri (baca: rakyat bodoh yang turun ke jalan) paling Rp.30.000 - Rp.40.000.. Jadi katakan untuk 10.000 orang yang demo itu 400 juta. Maka 100 juta sudah masuk kantong si germo hanya untuk sekali turun ke jalan. Bisnis yang menggiurkan? Oohhh tentu saja....
Kalau dibiarkan, bukan mustahil justru rakyat sendiri yang akan musnah. Rakyat yang menuntut demokrasi yang fair, tapi rakyat sendirilah yang merusak tatanan yang ada. Kalau dipikir memang runyam. Ketika dulu PILKADA biasa, balon (bakal calon) hanya butuh menyuap anggota DPR/DPRD. Sehingga yang kaya adalah wakil rakyat. Ketika PILKADAL (pemilihan langsung) diserukan, uang suap beralih dari wakil rakyat langsung kepada rakyat yang berarti rakyat yang dapet uang. Rapuhnya mental rakyat bodoh, ia mudah diadu domba oleh bosnya. Sehingga demi mendapat beberapa puluh ribu rupiah, ia berani melakukan apa saja.
Cukup banyak fenomena seperti ini di tanah air. Tapi yang harus diketahui oleh rakyat cerdas adalah tak semua demonstrasi itu benar. Hampir semua demonstrasi adalah bayaran. Mungkin demonstrasi murni dari hati adalah demonstrasi mahasiswa. Karena idealisme yang tinggi adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda.
Tak habis pikir dengan rakyat. Kadang mereka yang menuntut, tapi mereka sendiri yang terlalu over-acting. Andaikata rakyat tidak mau dibayar, susah bagi bakal calon untuk menyuap. Tapi sayangnya, rakyat bodoh mau dibayar untuk melakukan apa saja. Dan yang untung adalah yang membayar. Ketika ia (yang membayar rakyat bodoh) terpilih menjadi kepala daerah berkat rakyat bodoh yang memilih dan mendukung, ia sudah kehabisan modal, dan sekarang adalah saat yang tepat untuk mengembalikan modal yang telah dibayarkan waktu pemilihan yang berjumlah milliaran itu selama 5 tahun ke depan. Lewat jalur apa? Hanya mereka yang tahu....
Atau mungkin anda sudah tahu? Hmmm.... rusak.
Ketika ejakulasi demokrasi sudah tak tertahankan, mulailah sebuah jaman reformasi dikumandangkan. Sejak itulah, rakyat yang memang seharusnya berkuasa, mulai unjuk gigi. Demonstrasi mulai bermunculan. Dari mature demonstation hingga immature demonstration. Maka setiap langkah yang berdalih "atas nama rakyat" masuk dalam koridor demokrasi dan reformasi.
Pertanyaan yang jarang disebut adalah: Rakyat sebelah mana?
Kini, therapy yang bernama reformasi sudah berjalan bertahun-tahun. Sudahkah kita sembuh? Belum. Penyakit-penyakit itu bahkan sudah parah dan mejalar ke daerah yang lain. Bagi pakar demokrasi tentu berkata, demokrasi itu butuh waktu puluhan tahun. Tapi tentu, sudahkah kita berjalan kesana? Bisa jadi.
Ada rakyat yang pintar, ada juga rakyat yang luar biasa bodoh. Rakyat bodoh ini biasanya adalah rakyat bayaran. Memang harap maklum saja, kemiskinan yang cukup tinggi dan kekayaan yang juga tinggi membuat gap antara keduanya semakin lebar. In other words, yang miskin semakin miskin yang kaya semakin kaya.
Kemiskinan adalah pangkal kebodohan. Ungkapan inilah yang kira2x pas disematkan kepada mereka. Ketika tidak punya kerja, ketika tidak ada lagi yang dikerjakan, ketika tak punya uang, ketika banyak masalah, maka orang-orang inilah yang gampang dimanfaatkan. Hanya dengan uang Rp.5.000- Rp.50.000 per orang mereka berani turun ke jalan demonstrasi (bahkan melakukan apapun) meskipun mereka tahu bahwa yang mereka bela berada di pihak yang salah. Mereka juga rakyat kan? Runyamnya, orang seperti ini banyak jumlahnya dan bisa dibeli dengan harga yang sangat murah hanya untuk memenuhi hasrat politik sang politikus.
Kalau memang hal ini terjadi di satu daerah maka itu tak masalah. Tapi akan menjadi masalah bila itu terjadi hampir di seluruh daerah yang mengadakan pesta rakyat (baca: Pilkada). Pasangan balon (bakal calon) yang berjumlah lebih dari dua biasanya memanfaatkan "rakyat bodoh" untuk menggaet dukungan sekaligus siap turun ke jalan. Bagi rakyat bodoh, tak peduli apakah yang dibelanya itu benar. Tapi yang penting bagi mereka adalah bagaimana mendapatkan uang untuk mengisi perut. Iya, mengisi perut.
Fenomena seperti ini kalau dibiarkan tentu akan menjadi ladang bisnis baru bagi "preman-preman" rakyat. Misalnya, A adalah preman. Ia punya massa berjumalah 10.000 yang setiap saat 24 jam sehari 7 hari seminggu siap turun ke jalan. Ia memasang iklan bagi setiap kandidat bagi yang ingin menyewa massanya untuk turun ke jalan. Tarif A adalah Rp.50.000 per orang. Maka andaikata si bakal calon memakai jasa "germo" ini, maka ia harus menyiapkan tarif Rp. 500.000.000 (lima ratus juta) untuk sekali turun.. Berarti sekali turun ke jalan, si germo atau preman ini punya omset 500 juta. Tapi ingat itu adalah tarif germo, kalau tarif PSKnya sendiri (baca: rakyat bodoh yang turun ke jalan) paling Rp.30.000 - Rp.40.000.. Jadi katakan untuk 10.000 orang yang demo itu 400 juta. Maka 100 juta sudah masuk kantong si germo hanya untuk sekali turun ke jalan. Bisnis yang menggiurkan? Oohhh tentu saja....
Kalau dibiarkan, bukan mustahil justru rakyat sendiri yang akan musnah. Rakyat yang menuntut demokrasi yang fair, tapi rakyat sendirilah yang merusak tatanan yang ada. Kalau dipikir memang runyam. Ketika dulu PILKADA biasa, balon (bakal calon) hanya butuh menyuap anggota DPR/DPRD. Sehingga yang kaya adalah wakil rakyat. Ketika PILKADAL (pemilihan langsung) diserukan, uang suap beralih dari wakil rakyat langsung kepada rakyat yang berarti rakyat yang dapet uang. Rapuhnya mental rakyat bodoh, ia mudah diadu domba oleh bosnya. Sehingga demi mendapat beberapa puluh ribu rupiah, ia berani melakukan apa saja.
Cukup banyak fenomena seperti ini di tanah air. Tapi yang harus diketahui oleh rakyat cerdas adalah tak semua demonstrasi itu benar. Hampir semua demonstrasi adalah bayaran. Mungkin demonstrasi murni dari hati adalah demonstrasi mahasiswa. Karena idealisme yang tinggi adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda.
Tak habis pikir dengan rakyat. Kadang mereka yang menuntut, tapi mereka sendiri yang terlalu over-acting. Andaikata rakyat tidak mau dibayar, susah bagi bakal calon untuk menyuap. Tapi sayangnya, rakyat bodoh mau dibayar untuk melakukan apa saja. Dan yang untung adalah yang membayar. Ketika ia (yang membayar rakyat bodoh) terpilih menjadi kepala daerah berkat rakyat bodoh yang memilih dan mendukung, ia sudah kehabisan modal, dan sekarang adalah saat yang tepat untuk mengembalikan modal yang telah dibayarkan waktu pemilihan yang berjumlah milliaran itu selama 5 tahun ke depan. Lewat jalur apa? Hanya mereka yang tahu....
Atau mungkin anda sudah tahu? Hmmm.... rusak.